SEMARANG, beritajateng.tv – Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro (FEB Undip), Prof. Firmansyah, menilai persoalan pengangguran dan kualitas tenaga kerja di Jawa Tengah tak lepas dari ketidaksesuaian antara pendidikan dan kebutuhan industri.
Menurutnya, penguatan pendidikan vokasi yang tepat sasaran menjadi kunci utama dalam menyambut investasi dan meningkatkan produktivitas daerah.
Prof. Firmansyah menjelaskan, lulusan pendidikan sarjana (S-1) umumnya memiliki pengetahuan yang kuat, namun masih kurang pada aspek keterampilan teknis. Sementara itu, investasi yang masuk ke daerah justru membutuhkan tenaga kerja terampil dengan skill spesifik.
“Yang kita butuhkan itu skill. Kalau investasi masuk dan butuh tenaga terampil, maka pendidikan vokasi ini jadi sangat penting,” ujarnya pada Senin, 29 Desember 2025.
BACA JUGA: UMK Kabupaten Semarang 2026 Resmi Rp2,94 Juta, Bupati Dorong Hubungan Industrial Harmonis
Namun, tantangan utama saat ini terletak pada sisi penawaran tenaga kerja (supply side). Ia menyoroti potensi mismatch antara jurusan, kurikulum, dan kebutuhan industri. Pendidikan vokasi yang tidak selaras justru berisiko menambah angka pengangguran meskipun lowongan kerja tersedia.
“Sering kita lihat ada lowongan kerja, tapi pengangguran masih ada. Masalahnya bukan tidak ada pekerjaan, tapi tidak cocok antara skill lulusan dengan kebutuhan industri,” jelasnya.
Prof. Firmansyah juga menyinggung fenomena lulusan terampil di sektor teknologi tinggi yang belum terserap optimal di Jawa Tengah, sehingga memilih bekerja di daerah lain.
Akibatnya, struktur tenaga kerja yang tersisa masih dominan lulusan pendidikan rendah, sebagaimana tercermin dalam data ketenagakerjaan.
Kurikulum SMK perlu evaluasi tiap tahun agar sejalan dengan kebutuhan industri
Untuk menjawab tantangan tersebut, ia menekankan pentingnya penyesuaian kurikulum vokasi secara fleksibel dan berbasis data industri. Kurikulum SMK, menurutnya, perlu evaluasi setiap tahun agar sejalan dengan sektor industri yang akan masuk ke daerah.
“SMK itu bisa dibuat fleksibel. Dua tahun awal skill umum, tahun ketiga fokus ke industri yang akan muncul. Evaluasinya tiap tahun bersama data industri,” kata dia.













