SEMARANG, beritajateng.tv – Di tengah modernisasi, Ketua sekaligus Pendiri Sanggar Seni Mardayu, Esti Setyawati tetap optimistis anak-anak muda Kota Semarang tidak akan melupakan kesenian tradisional Jawa, khususnya karawitan.
Apalagi, saat ini tidak sedikit anak perempuan yang turut bergabung dalam kelompok karawitan. Padahal, sebelumnya terdapat stigma bahwa gamelan lebih banyak dimainkan oleh laki-laki. Apalagi adanya istilah lanang-wadong dalam instrumen gamelan.
“Untuk sekarang ini, menurut saya perempuan sudah sangat berperan di bidang apa saja, bahkan di bidang pemerintahan, politik, hukum, dan sebagainya. Salah satunya ya peran perempuan di bidang seni karawitan,” ujar Esti kepada beritajateng.tv, Selasa, 24 Oktober 2023.
BACA JUGA: Lestarikan Budaya Jawa, Disdikbud Jateng Gelar Lomba Karawitan Khusus Pelajar Umur Belasan Tahun
Sanggar Seni Mardayu sendiri berdiri sejak tahun 2009 silam. Bermula dari kegiatan pentas seni yaitu menari selama 33 jam berturut-turut tanpa henti, Esti dan beberapa rekannya memutuskan untuk mendirikan sebuah sanggar untuk memudahkan komunikasi antar pegiat seni tari.
Seiring berjalannya waktu, tidak hanya seni tari saja namun Sanggar Seni Mardayu juga merambah ke seni-seni lainnya. Misalnya, karawitan, macapat, pedhalangan, dan lainnya.
BACA JUGA: Sanggar Monod Laras: Upaya Pelestarian Seni Budaya Tradisional Dalang dan Karawitan
Sepuluh tahun lebih Sanggar Seni Mardayu berdiri
Sanggar Seni Mardayu telah lebih dari 10 tahun eksis melestarikan budaya Jawa, serta turut menjadi wadah bagi generasi muda terutama anak perempuan dalam berkesenian. Dalam kurun waktu tersebut, tak jarang mereka mendapat banyak kendala.
Meski begitu, Esti menuturkan bahwa semangat dan kecintaan anak-anak terhadap kesenian Jawa serta adanya dukungan orang tualah yang membawa mereka masih bertahan hingga saat ini.