JAKARTA, beritajateng.tv — Pemerintah menegaskan bahwa tata kelola kecerdasan buatan (AI) di Indonesia harus berorientasi pada manusia atau human-centric. Pendekatan ini dianggap penting untuk memitigasi risiko penggunaan teknologi AI, terutama di industri media yang tengah beradaptasi dengan transformasi digital.
Staf Ahli Kementerian Komunikasi dan Digital, Wijaya Kusumawardhana, menjelaskan bahwa AI memiliki potensi luar biasa namun juga membawa risiko tinggi, sehingga pemanfaatannya wajib berada dalam kerangka kebijakan yang mengutamakan peran manusia.
“AI bukan subjek utama. Manusia harus tetap menjadi subjek dan objek utama dalam tata kelola teknologi ini,” tegas Wijaya saat berbicara dalam panel diskusi Indonesia Digital Conference (IDC) 2025 bertema Sovereign AI Menuju Kemandirian Digital, di The Hub Sinarmas Land, Jakarta, Kamis 23 Oktober 2025.
Wijaya menekankan bahwa pendekatan human-centric harus mengacu pada prinsip trustworthy AI (AI yang dapat dipercaya) dengan nilai-nilai bermartabat, berkeadilan, inklusif, dan transparan.
Pengendalian AI
Pemerintah, katanya, tidak melihat AI semata-mata sebagai alat komersial, tetapi sebagai teknologi yang harus terkendali agar tidak orang lain gunakan untuk manipulasi atau penyebaran disinformasi seperti deepfake.
BACA JUGA: AMSI Dorong Dewan Pers Lebih Proaktif Hadapi Tantangan Era Digital
Dalam aspek hukum, AI juga wajib tunduk pada UU ITE dan UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Wijaya menegaskan, penggunaan data pribadi tanpa izin, termasuk data biometrik dan rekam medis, merupakan pelanggaran yang dapat terkena sanksi tegas.
“AI tidak boleh menggunakan data pribadi tanpa izin, baik data umum seperti NIK dan nama, maupun data khusus seperti biometrik,” ujarnya.
Selain itu, pemerintah juga menyoroti praktik bisnis yang meminta publik menyerahkan data pribadi untuk kepentingan komersial. Untuk itu, sistem AI harus di audit secara berkala dan mampu menjelaskan logika kerjanya, atau konsep explainable AI.
Dewan Pers: AI Hanya Alat Bantu, Bukan Pengganti Jurnalis
Ketua Komisi Digital dan Sustainability Dewan Pers, Dahlan Dahi, juga menekankan bahwa jurnalis perlu memahami karakter dan batasan AI agar bisa memanfaatkannya secara etis tanpa kehilangan integritas profesi.
“AI adalah teknologi yang sangat powerful, tapi sebelum menggunakannya kita harus memahami ‘makhluk’ seperti apa AI itu,” ujar Dahlan.
Menurutnya, perbedaan mendasar antara AI dan internet terletak pada kemampuan AI menciptakan informasi baru, bukan sekadar menyimpan data. Karena itu, AI harus di tempatkan sebagai tools atau alat bantu, bukan entitas yang mengambil keputusan editorial.
“Keputusan akhir dalam proses pemberitaan tetap harus berada di tangan manusia,” tegas Dahlan.
Ia menambahkan bahwa AI belum mampu menjamin akurasi informasinya sendiri dan berpotensi mengalami halusinasi, serta belum bisa memastikan keabsahan hak cipta konten yang AI hasilkan. Karena itu, produk AI tidak bisa teranggap sebagai karya jurnalistik dan tidak boleh jadi sumber berita final.