SEMARANG, beritajateng.tv – Menteri Hukum RI, Supratman Andi Agtas, angkat bicara soal Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang resmi DPR RI sahkan lewat rapat paripurna pada Selasa, 18 November 2025 kemarin.
Sebelum dan sesudah pengesahan berlangsung, warganet ramai menyebarkan poster melalui di media sosial Instagram yang berisi kekhawatiran terhadap pengesahan KUHAP baru.
Saat beritajateng.tv jumpai di Gedung Gradhika Bhakti Praja, Kota Semarang, Rabu, 19 November 2025, Andi menegaskan revisi KUHAP tersebut mencakup perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) seluruh warga negara hingga menyangkut restorative justice.
“Enggak ada [catatan tambahan terkait KUHAP]. KUHAP yang baru itu intinya tadi saya jelasin, yang pertama dalam rangka perlindungan hak asasi manusia, melindungi semua pihak ya. Yang kedua adalah menyangkut soal restorative justice,” tegas Andi.
Andi mengklaim, revisi KUHAP itu justru memperkuat keselarasan mekanisme peradilan pidana, sekaligus menjamin perlindungan hak setiap pihak yang terlibat.
“Jadi bagaimana sistem peradilan pidana kita itu bisa bekerja bersama, mulai dari penyelidikan sampai pelaksanaan putusan. Itu bisa bekerja sesuai dengan mekanisme dan sesuai dengan standar dalam rangka perlindungan terhadap hak-hak orangnya,” sambungnya.
Andi persilakan pihak yang setuju ajukan judicial review ke MK
Senada dengan DPR RI, Andi pun turut mempersilakan pihak yang tak setuju dengan revisi KUHAP untuk mengajukan uji konstitusionalitas ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, ketidaksetujuan itu lumrah itu di negara demokrasi.
“Enggak apa-apa, itu biasa dalam demokrasi. Tidak mungkin 280 juta penduduk ini semua kepala kita sama,” tegas dia.
Kendati begitu, ia mengaku banyak pujian yang ia terima dari kalangan masyarakat yang mengaku puas dengan revisi KUHAP tersebut.
“Tetapi intinya saya hari ini untuk KUHAP menerima banyak sekali masukan dari masyarakat dan pujian bahwa mereka puas. Bahwa ada satu atau dua mungkin yang tidak puas, itu biasa saja. Dan kita kira itu hak konstitusional, kalau mau melakukan uji materi ke MK silakan,” pungkasnya.
DPR RI sebut poster RKUHAP di medsos adalah hoaks
Sebelumnya, DPR RI telah resmi mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menjadi Undang-Undang pada Selasa, 18 November 2025.
Meski begitu, pengesahan tersebut masih menuai kontroversi di kalangan masyarakat, terutama pada sejumlah pasal yang menyangkut wewenang penyelidikan. Gelombang penolakan RKUHAP telah menggema di jagat media sosial, jauh sebelum pengesahan aturan peninggalan zaman kolonial itu.
Poster-poster terkait pasal kontroversial pun banyak warganet unggah. Ketua DPR, Puan Maharani, menegaskan laporan hasil pembahasan KUHAP yang Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, sampaikan sudah cukup jelas.
Pimpinan DPR RI pun berharap publik yang masih menolak proses legislasi tersebut tidak termakan hoaks terkait substansi KUHAP baru.
BACA JUGA: Walikota Semarang Usulkan Revisi Perda PDAM Tirta Moedal, Salah Satunya Bahas Gaji Jajaran Direksi
“Penjelasan dari Ketua Komisi III saya kira cukup bisa dipahami dan dimengerti sekali, jadi hoaks-hoaks yang beredar itu, semua hoaks itu tidak betul, dan semoga kesalahpahaman dan ketidakmengertian kita sama-sama bisa pahami,” kata Puan dalam sebuah wawancara, Selasa, 18 November 2025.
Sementara itu, Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menegaskan poster yang beredar di media sosial mengenai RKUHAP adalah hoaks. Poster tersebut menuding jika RKUHAP tersahkan, aparat kepolisian dapat melakukan penyadapan, penyitaan, hingga penangkapan tanpa izin hakim. Menurut Habiburokhman, seluruh isi poster itu tidaklah benar.
“Ada semacam poster di media sosial yang isinya tidak benar. Disebutkan kalau RKUHAP disahkan, polisi bisa melakukan [hal-hal tertentu] ke kamu tanpa izin hakim. Ini tidak benar sama sekali,” ujar Habiburokhman dalam sebuah wawancara, Selasa, 18 Oktober 2025.
Soal polisi bisa menyadap dan mengutak-atik komunikasi tanpa izin
Menanggapi klaim bahwa polisi bisa menyadap dan mengutak-atik komunikasi tanpa izin, Habiburokhman menjelaskan bahwa KUHAP yang baru justru menegaskan mekanisme yang jauh lebih ketat. Ia menyebut, Pasal 135 ayat (2) di UU KUHAP yang baru menyatakan bahwa penyadapan akan ada pengaturan secara khusus melalui undang-undang tersendiri, yang baru akan masuk pembahasan setelah pengesahan RKUHAP.
“Semua fraksi menyadari bahwa penyadapan itu harus ada aturan secara hati-hati dan harus berjalan dengan izin pengadilan. Jadi, undang-undangnya belum ada, tapi sikap politiknya sudah ada soal penyadapan,” ujarnya.
Lebih lanjut, poster hoaks itu juga menyebut polisi bisa membekukan rekening dan jejak digital secara sepihak. Habiburokhman menyebut narasi tersebut keliru. Menurutnya, Pasal 139 ayat (2) RKUHAP dengan jelas menyatakan bahwa semua bentuk pemblokiran, baik rekening maupun data online, harus mendapatkan izin hakim.













