Diungkapkan, perilaku hormat santri kepada gurunya dalam hal ini yaitu kyai dan ulama muncul karena kyai sangat tulus memberikan ilmunya tanpa waktu yang dibatasi bukan untuk tuntutan materi semata.
“Hubungan antara kyai dengan santri atau kiai dengan masyarakat umum adalah hubungan sosial yang didasarkan dan diikat pada moralitas keagamaan bukan oleh upah,” ungkap Gus Tommy, yang juga Anggota DPRD Kendal.
Dalam perkembangannya, tradisi Syawalan tidak hanya mencangkup aspek agama dan budaya tetapi juga aspek sosial kemasyarakatan.
Menurut ia, keberkahan seorang kiai tidak lagi milik santri dan keluarganya tetapi sudah menjadi milik masyarakat Kaliwungu dan sekitarnya dari berbagai latar belakang kehidupan.
Sebuah ritual komunal yang awalnya bersifat alamiah menjadi upacara massal yang terjadi setiap tahun yang harus ditata secara rapi sebagai bagian dari citra dan potensi daerah.
“Dalam perkembangannya tradisi Syawalan mengalami perubahan dalam pelaksanaan kegiatan seiring dengan perkembangan masyarakatnya. Khoul tadinya hanya acara tahlil biasa yang melibatkan kalangan ulama, santri dan masyarakat sekitar yang datang bersama-sama menuju makam dan melakukan tahlil,” papar Gus Tommy.
Selain itu, terdapat penambahan dalam rangkaian acara yaitu diisi dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat keagamaan.
Salah satunya pengajian, yang dilaksanakan secara sederhana, dengan menampilkan seorang penceramah, yang lokasinya berada di tempat terbuka.
Dalam perkembangan, kegiatan pengajian dipindahkan ke serambi Masjid Al Muttaqin Kaliwungu dan tidak lagi di komplek makam.
“Selain acara tahlil dan pengajian, juga ada acara sama’an dan khataman Alquran. Acara lain yang lebih menarik dan menyedot perhatian masyarakat kaliwungu adalah acara pembukaan yang dilakukan di halaman Masjid Al Muttaqin Kaliwungu,” imbuh Gus Tommy.
Dirinya juga menambahkan, perayaan Syawalan di Kaliwungu tidak lagi sebatas perayaan khoul Kyai Guru dengan melakukan tahlil di makam KH Asy’Ari saja, melainkan sudah melebar ke makam kiai-kiai lain serta tokoh-tokoh sejarah lain seperti Sunan Katong, Pangeran Mandororejo, Pakuwojo bahkan sampai ke kompleks makam bupati Kaliwungu.
Selain itu pada era modern Syawalan beralih menjadi sebuah pasar malam. Upacara tradisii ini sekarang tidak lagi milik masyarakat Kaliwungu tetapi sudah menjadi milik umum.
Bahkan tradisi Syawalan juga menjadi berkah tersendiri para pedagang musiman di sepanjang jalan utama Kaliwungu sepankang dua kilometer.
Pedagang yang datang dari berbagai daerah di Jawa Tengah dan juga dari Jawa Barat tersebut, menjajalan berbagai produk, seperti aneka bunga hias, guci, mainan anak-anak, hingga maianan yang terbuat dari gerabah. (Ak/El)