“Belum pernah direnovasi besar, paling tambal sulam. Tapi sejak zaman dulu sampai sekarang alhamdulillah masih jalan,” tutur Yono.
Pondok ini menjadi semacam “arsip hidup” dari sejarah urban Semarang saksi bagaimana kota ini tumbuh dari arus migrasi, dari keringat para perantau yang dulu datang dengan modal nekat dan tekad bertahan hidup.
Pondok Boro tidak hanya memiliki nilai sejarah, tetapi juga nilai sosial yang tinggi. Ia menjadi simbol bagaimana ruang-ruang sosial terbentuk bukan oleh kapital, melainkan oleh rasa kemanusiaan.
BACA JUGA: Murah Banget, Begini Potret Penginapan Termurah di Semarang, Cuma Rp4 Ribu Semalam!
Dalam konteks sejarah kota, Pondok Boro adalah bukti bahwa urbanisasi di Semarang bukan sekadar kisah ekonomi, tetapi juga kisah solidaritas dan keberlanjutan sosial.
Hingga kini, di tengah modernisasi dan gempuran pembangunan kota, Pondok Boro masih berdiri, sederhana, tapi sarat makna.
Tempat ini mengingatkan bahwa sejarah kota tidak hanya tersimpan di gedung-gedung kolonial, tetapi juga di ruang-ruang hidup sederhana yang dibangun oleh tangan-tangan rakyat kecil. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi