Dokumen itu, kata dia, menjadi standar minimum dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sebagai dasar penyampaian informasi kepada masyarakat, langkah pencegahan, mitigasi, hingga respons kedaruratan.
“Bahwa setiap daerah memiliki peta risiko, kemudian informasi yang bisa pemerintah daerah sampaikan kepada masyarakat, bagaimana upaya pencegahan dan mitigasinya dan bagaimana kalau itu terjadi kedaruratan bisa berjalan secara efektif dan efisien,” jelas dia.
Dalam kesempatan itu, BNPB juga memaparkan wilayah yang peta risikonya belum siap. Menurut Raditya, peta risiko harus segera berpadu atau overlay dengan prediksi dan proyeksi cuaca dari BMKG agar potensi curah hujan tinggi bisa termonitor oleh BPBD dan Pusdalops.
BACA JUGA: Siapkan Bantuan Tak Terduga Rp20 Miliar, Luthfi: Doa Kita Jateng Jangan Ada Bencana Biar Tak Terpakai
“Untuk itu kami tadi menyampaikan kawasan mana saja yang peta risikonya itu belum siap. Kemudian yang harus segera berjalan adalah peta risiko overlay dengan prediksi dan proyeksinya dari BMKG,” sambungnya.
Tak hanya itu, ia menekankan pentingnya peran Babinsa dan Bhabinkamtibmas sebagai ujung tombak bersama BPBD dan masyarakat dalam membangun Desa Tangguh Bencana.
Menurutnya, sistem pos kamling, edukasi warga, hingga simulasi dan gladi evakuasi perlu penguatan di tingkat desa. Ia menambahkan, desa harus menjadi basis kesiapsiagaan. Oleh sebab itu, penerapan Desa Tangguh Bencana didorong untuk diadopsi seluruh kabupaten/kota.
Raditya juga menegaskan pentingnya Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) sebagai dokumen wajib lima tahunan yang harus daerah anggarkan.
“RPB ini menjadi wajib bagi kabupaten/kota supaya bisa dianggarkan 5 tahun ke depan. Bagaimana perencanaannya mulai dari edukasi, literasi, mitigasi. Termasuk upaya normalisasi, mengurangi sedimentasi, peralihan fungsi lahan, mengembalikan fungsi normal sungai lagi. Terutama tanggul-tanggul supaya kuat dan tidak mengakibatkan banjir dan seterusnya,” pungkasnya. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi













