Ia telah memanfaatkan teknologi digital yang terus berkembang, seperti teknologi tiga dimensi (3D), Virtual Reality (VR), dan Augmented Reality (AR) dalam penelitiannya.
“Saat ini, kecerdasan buatan telah menjadi pondasi teknologi dalam revolusi industri terutama dalam konteks pelestarian budaya dan alam. Dalam konteks pelestarian alam, teknologi computer vision menawarkan janji metode pemantauan keanekaragaman hayati yang lebih efektif,” terang Prof. Pulung.
Lebih lanjut, Prof. Pulung menganggap bahwa gelar Guru Besar yang ia raih bukanlah akhir dari perjuangannya, melainkan awal dari perjalanan baru. Ke depan, Prof. Pulung akan berupaya untuk terus meningkatkan jumlah inovasi yang mampu bermanfaat bagi masyarakat luas.
BACA JUGA: Pengabdian Masyarakat di Desa Kacangan, Dosen Udinus Edukasi Pentingnya Pencegahan Leptospirosis
Namun, Prof. Pulung juga mengakui bahwa mempelajari dan menerapkan AI memiliki berbagai tantangan. AI bukanlah ilmu baru, tetapi ilmu yang telah ada sejak lama. Referensi mengenai AI masih terbatas, dan dirinya berencana memanfaatkan ilmu ini untuk menangani permasalahan stunting di Indonesia, khususnya di Kota Semarang.
“Dengan referensi yang terbatas, maka perlu jeli dalam melihat referensi. Permasalahan stunting saat ini, masih hangat-hangatnya dan kita perlu membantu lewat AI agar masalah stunting cepat selesai,” tandasnya. (*)
Editor: Mu’ammar Rahma Qadafi