“Ya seperti yang dibilang Imam Syafi’I. Kita itu kalau nggak punya jabatan dan bukan orang kaya ya Cuma menulis jalan satu-satunya agar nama kita tak lekang waktu,” ujar Andy.
Andy yang pernah menjadi redaktur kantor berita di Jerman, Deutch Welle menyampaikan pengalamannya. Karena kesibukannya menulis mampu mengantarkan ia yang lahir dari desa terpencil di Lampung menjadi jurnalis internasional di Jerman.
“Saya sendiri sejak dulu kesibukannya menulis dan membuat berita, akhirnya mengantarkan saya sampai jadi seperti ini,” tuturnya.
Sementara itu, Teddy Kholiluddin dalam materinya memaparkan dengan tulisan ia mampu mengungkap berbagai persoalan di masyarakat. Terkhusus mengenai dinamika kerukunan antar umat beragama.
Pria yang saat ini mejadi pembina Lembaga Sosial Agama (eLSA) Semarang menyampaikan bahwa tulisannya yang dimanifestasikan dalam bentuk peneilitian. Saat ini menjadi rujukan pemerintah untuk menyelesaikan berbagai kasus tindakan intoleransi.
“Di saat teriakan kita mengenai berbagai permasalahan sosial. Tulisan bisa menjadi alternatif menyampaikan pendapat dan lebih besar kemungkinannya di dengar oleh pemangku kebijakan,” tandas Dosen Sosiologi di Universitas Wahid Hasyim Semarang ini.
Di akhir, pengasuh Pondok Pesantren Al-Fadhilah, KH Iman Fadhilah mengucapkan terimakasih kepada para pemateri yang telah memberikan nasehat kepada para santrinya. Iman Fadilah juga meyakinkan para santrinya agar terus belajar, membaca, berdiskusi, dan menulis.
“Tentunya menulis adalah sebuah sarana untuk menuangkan pemikiran dan pendapat agar tersebar luas di masyarakat. Jadi ingin mereka mendengar pemikiran kita oleh masyarakat luas, jangan berhenti menulis,” tutupnya. (*)
Editor: Elly Amaliyah