Menurut keterangannya, pemerintah memberi masa transisi selama empat tahun untuk memperbaiki praktik pengeboran agar sesuai dengan prinsip good engineering practice.
“Jika tidak membaik, aspek risiko tinggi akan menjadi pertimbangan untuk tindakan lebih lanjut,” ucapnya.
Faktor ekonomi jadi alasan sulit cegah masyarakat, Dinas ESDM Jateng akui enggan lakukan tindakan represif
Agus mengakui pengawasan sumur migas masyarakat di lapangan tidak mudah. Salah satu kendala terbesar menurutnya tak lain dorongan ekonomi. Agus menuturkan, warga tetap melakukan pengeboran meski berisiko besar.
Hal itu pulalah yang membuat aparat penegak hukum maupun pihaknya sendiri tak dapat berbuat represif.
“Alasannya perut ya, kondisi sekarang ini. Jadi dari aparat penegak hukum, dari pemerintah, kami tidak mau melakukan tindakan represif,” kata Agus.
Ia menegaskan, pendekatan yang pemerintah lakukan saat ini lebih pada pembinaan dan sosialisasi. Kata Agus, langkah tersebut pihaknya ambil agar masyarakat mampu memahami bahaya pengeboran ilegal.
BACA JUGA: Duka Mendalam Kembali Melanda Blora, Anak Korban Ledakan Sumur Minyak Ilegal Meninggal Dunia
“Kami harus ada langkah-langkah pembinaan, kasih tahu, termasuk sekarang ini kan dengan sosialisasi toh. Janganlah melakukan pemboran sumur migas baru, karena sudah belajar dari Blora dan dari Sumatera Selatan, semuanya menelan korban jiwa,” jelasnya.
“Silakan melakukan pengelolaan potensi migas yang ada, tapi tentunya harus memenuhi kaidah-kaidah keamanan, keselamatan, dan lingkungan,” tegas Agus.
Ia menambahkan, pengawasan tidak bisa Dinas ESDM lakukan sendiri. Seluruh OPD dan Forkopimda di Jawa Tengah maupun kabupaten/kota yang memiliki potensi sumur migas masyarakat, akan terlibat dalam validasi dan pembinaan.
“Ini bareng-bareng kami bina masyarakat supaya implementasi Permen ESDM 14/2025 ini penerapannya bisa benar. Tidak asal memanfaatkan peluang seolah-olah pemerintah melegalkan semua pemboran. Ada batasan-batasannya,” pungkas Agus. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi