Mayoritas dari mereka menjadi penyandang disabilitas secara mental, yakni lambat belajar atau slow learner. Sementara PPDB Inklusi terbagi dalam dua jenis calon peserta didik, antara lain permanen dan temporer.
“Kalau permanen seperti di PPDB ini mereka sudah diketahui permanen, kalau temporer seperti yang saya katakan setelah dia mengikuti pembelajaran dia mengalami kekerasan misalnya, atau korban kecelakaan dia harus di RS dan dia tidak bisa bangun tidak mungkin disamakan dengan kurikulum reguler. Dengan harapan nanti sembuh dan ke-disabilitasan itu kecil,” jelasnya.
Lebih lanjut, panjangnya waktu pendaftaran gelombang 1, Fajriah pun berharap masyarakat Kota Semarang dapat memanfaatkan PPDB Inklusi dengan sebaik mungkin. Hal tersebut lantaran anak dengan disabilitas tetap mempunyai hak dan kewajiban yang sama terkait pendidikan.
BACA JUGA: Binus University Semarang Bisa Jadi Role Model Pendidikan di Jateng
Menurutnya, siswa berkebutuhan khusus tidak harus bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB).
“Sekarang bukan hanya di pendidikan khusus di SLB tapi mereka yang mempunyai hak untuk belajar di sekolah reguler. Kita akomodir untuk peserta didik berkebutuhan khusus bisa bersekolah sesuai kenyamanan mereka. Kita jembatani, layani untuk inklusi yang tidak berlaku zonasi karena tidak terikat hal itu,” pungkasnya.(*)
Editor: Farah Nazila