Menurut Rahmat, Pangeran Diponegoro bukan tokoh yang menolak kehadiran asing, melainkan menginginkan praktik perdagangan yang adil. Pemikiran ini di anggap relevan untuk memahami konsep ekonomi berkeadilan masa kini.
“Beliau hanya meminta agar perdagangan berjalan dengan halal. Pemikirannya jauh ke depan dan itu menjadi pelajaran penting bagi kita,” ujar Rahmat.
Diskusi kemudian melebar ke tema filsafat dan kebahagiaan. Rahmat menilai, dorongan untuk mencari kebahagiaan sering menjadi motivasi ekonomi seseorang, namun banyak yang salah arah.
Ia mencontohkan kecenderungan anak muda yang mudah tertekan saat menghadapi beban pekerjaan dan lingkungan kompetitif.
Rahmat berharap rangkaian bedah buku ini meninggalkan kesan mendalam bagi peserta. Baginya, membangun bangsa yang beradab tidak bisa tercapai dalam waktu singkat, melainkan melalui proses panjang yang mulai dari lingkungan terdekat.
“Kita perlu mendidik diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Semoga apa yang kita lakukan mampu menjadi langkah kecil untuk membangun peradaban yang lebih baik,” tutupnya. (*)
Editor: Elly Amaliyah













