Keterbatasan infrastruktur dan perbedaan budaya sosial
Ketika diskusi, muncul refleksi mendalam mengenai perbedaan kondisi sosial dan infrastruktur yang turut memengaruhi cara kolektif berkembang di masing-masing tempat.
Para kolektif di Malaysia menyebut mereka cenderung lebih banyak berjejaring dengan sesama kolektif, dan belum mampu menjangkau masyarakat sekitar secara aktif.
Salah satu alasan utama karena rutinitas kehidupan masyarakat Malaysia yang sangat terstruktur dan berorientasi pada pekerjaan formal. Budaya kerja kantoran dari pagi hingga sore hari membuat masyarakat lebih individualis dan tidak terlalu terlibat dalam kegiatan komunitas.
Di sisi lain, infrastruktur kota seperti Kuala Lumpur dan Ipoh didominasi oleh zona komersial dan hunian vertikal. Secara fisik menyulitkan interaksi spontan di ruang-ruang publik.
Berbeda dengan Hysteria yang lahir dan tumbuh di Semarang, kota yang secara geografis dan sosial memiliki karakter lebih padat pemukiman dan tidak terlalu eksklusif. Lingkungan ini membuat Hysteria lebih mudah menjangkau masyarakat sekitar, meskipun prosesnya tidak instan.
Selama bertahun-tahun, Hysteria aktif menggelar kegiatan di ruang terbuka, di gang-gang kampung, atau mengundang warga dalam lokakarya dan diskusi santai.
Diskusi yang berlangsung selama tur dokumenter menjadi ruang untuk saling menguatkan dan menemukan harapan bersama.
Sebagai tambahan informasi, kegiatan ini merupakan bagian dari “Bandeng Keliling Asia”, sebuah tur regional Kolektif Hysteria menuju perhelatan “Penta K Labs V Biennale” yang akan digelar pada Agustus 2025 di Semarang, Indonesia.
Lewat tur ini, Hysteria tidak hanya menyebarkan dokumentasi perjalanannya, tetapi juga membuka ruang bagi dialog dan solidaritas antar-kolektif di Asia Tenggara. (*)
Editor: Andi Naga Wulan.