وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا
“Dan sempurnakanlah bilangan Ramadhan, dan bertakbirlah kalian kepada Allah”. (QS. Al-Baqarah: 185).
Ada dua jenis takbir Idul Fitri. Pertama, muqayyad (terbatas), yaitu takbir setelah sholat, baik fardhu atau sunnah. Setiap selesai sholat, dianjurkan untuk membaca takbir. Kedua, mursal (bebas), yaitu takbir yang tidak terbatas setelah sholat, bisa dilakukan di setiap kondisi. Takbir Idul Fitri bisa di mana saja, di rumah, jalan, masjid, pasar atau tempat lainnya.
Takbir Idul Fitri sejak tenggelamnya matahari pada malam 1 Syawal sampai menjelang sholat Idul Fitri.
Salah satu contoh bacaan takbir yang utama adalah:
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لَا إلَهَ إلَّا اللهُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ وَلِلهِ الْحَمْدُ، اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا لَا إلَهَ إلَّا اللهُ وَلَا نَعْبُدُ إلَّا إيَّاهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ لَا إلَهَ إلَّا اللهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ لَا إلَهَ إلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ
(Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz 3, hal. 54).
Sunnah Idul Fitri selanjutnya yakni makan sebelum berangkat sholat Id
Sebelum berangkat shalat Idul Fitri, disunnahkan makan terlebih dahulu. Anjuran ini berbeda dengan shalat Idul Adha yang disunnahkan makan setelahnya.
Hal tersebut karena merujuk pada sunnah Nabi. Lebih utama yang dimakan adalah kurma dalam hitungan ganjil, bisa satu butir, tiga butir dan seterusnya. Makruh hukumnya meninggalkan anjuran makan ini sebagaimana dikutip al-Imam al-Nawawi dari kitab al-Umm. (Syekh Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 1, hal. 592).
Kelima, berjalan kaki menuju tempat sholat. Hal ini berdasarkan ucapan Sayyidina Ali:
مِنْ السُّنَّةِ أَنْ يَخْرُجَ إلَى الْعِيدِ مَاشِيًا
“Termasuk sunnah Nabi adalah keluar menuju tempat shalat Id dengan berjalan”. (HR. al-Tirmidzi dan beliau menyatakannya sebagai hadits Hasan).
Bagi yang tidak mampu berjalan kaki seperti orang tua, orang lumpuh dan lain sebagainya boleh menggunakan kendaraan. (Syekh Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 1, hal. 282).
Keenam, membedakan rute jalan pergi dan pulang tempat shalat Id
Berdasarkan hadits riwayat al-Bukhari, rute perjalanan pulang dan pergi ke tempat shalat Id hendaknya berbeda. Dianjurkan rute keberangkatan lebih panjang dari pada jalan pulang.
Di antara hikmahnya yakni memperbanyak pahala menuju tempa ibadah. Anjuran ini juga berlaku saat perjalanan haji, membesuk orang sakit dan ibadah lainnya. Sebagaimana ditegaskan al-Imam al-Nawawi dalam kitab Riyadl al-Shalihin. (Syekh Khathib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 1, hal. 591).
Ketujuh, berhias.
Momen Idul fitri sangat tepat jika terhiasi dengan penampilan sebaik mungkin untuk menampakkan kebahagiaan di hari yang berkah itu. Berhias bisa dengan membersihkan badan, memotong kuku, memakai wewangian terbaik dan pakaian terbaik.
Lebih utama memakai pakaian putih, kecuali bila selain putih ada yang lebih bagus, maka lebih utama mengenakan pakaian yang paling bagus. Khusus bagi perempuan, anjuran berhias tetap harus memperhatikan batas-batas syariat, seperti tidak membuka aurat, tidak mempertontonkan penampilan yang memikat laki-laki lain yang bukan mahramnya dan lain sebagainya. (Syekh Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 1, hal. 281).
Kedelapan, tahniah (memberi ucapan selamat).
Hari raya merupakan hari yang penuh dengan kegembiraan. Oleh karena itu, anjurannya untuk saling memberikan selamat atas kebahagiaan saat hari raya. Di antara dalil yakni beberapa hadits yang disampaikan al-Imam al-Baihaqi, dalam kitab Sunannya menginventarisir beberapa hadits dan ucapan para sahabat tentang tradisi ucapan selamat di hari raya.
Meski tergolong lemah sanadnya, tetapi beberapa dalil tersebut dapat menjadi referensi untuk persoalan ucapan hari raya yang berkaitan dengan keutamaan amal ini. Salah satu contohnya “taqabbala allâhu minnâ wa minkum”, “kullu ‘âmin wa antum bi khair”, “selamat hari raya Idul Fitri”, “minal aidin wa al-faizin”, “mohon maaf lahir batin”, dan lain sebagainya.
Syekh Ali Syibramalisi menjelaskan tahniah juga bisa dalam bentuk saling bersalam-salaman. Maka dari itu, sangat tidak tepat klaim dari sebagian kalangan bahwa ucapan selamat hari raya yang berkembang di Indonesia tidak memiliki dasar dalil agama (*).