SEMARANG, beritajateng.tv – Potensi garam di Jawa Tengah mencapai 1 juta ton per tahun. Namun, saat ini yang baru dimanfaatkan hanya sekitar 50 persen dari total kapasitas lahan yang tersedia. Padahal, kebutuhan garam nasional sangat besar dan masih bergantung pada impor.
Anggota DPD RI dari Jawa Tengah Abdul Kholik menyampaikan, Jawa Tengah memiliki peluang besar untuk menjadi pemain utama dalam program swasembada garam nasional. Dari kunjungan ke sejumlah daerah pesisir, terutama di Pati, Rembang, dan Demak, ia menyebut potensi ini sangat nyata dan penggarapannya harus segera, serta secara serius.
“Kalau lahan-lahan itu dimanfaatkan penuh, dari Pati saja bisa 600 ribu ton per tahun. Kalau ditambah daerah lain, totalnya bisa tembus 1 juta ton garam per tahun,” ujar Abdul Kholik dalam konferensi pers yang berlangsung di Kantor DPD RI Jawa Tengah, Kota Semarang, Selasa, 7 Oktober 2025 malam.
Ia menjelaskan, saat ini kebutuhan nasional garam mencapai 4,6 juta ton per tahun. Sementara produksi dalam negeri baru sekitar 1,3 juta ton. Artinya, ada defisit hampir 3,5 juta ton yang selama ini terpenuhi lewat impor.
“Kalau Jawa Tengah bisa fokus mengembangkan industri garam, ini pasar yang sangat besar. Karena pemerintah sudah menargetkan tidak akan ada impor garam pada 2027. Ini kesempatan kita,” sambung Kholik.
Jika produksi garam maksimal, Jateng bisa kantongi Rp2 triliun per tahun
Sarana Pembangunan Jawa Tengah (SPJT) kini menjadi tulang punggung pengolahan garam milik pemerintah provinsi. BUMD itu, kata Kholik, telah mengoperasikan mesin berkapasitas 25 ribu ton per tahun. Seluruh garam olahannya terserap pasar dalam waktu singkat.
“Bahkan kewalahan, karena permintaan terus mengalir. Tadi juga disampaikan Pak Dirjen, permintaan dari industri dan pasar umum itu terus bertambah. Jadi sebenarnya kapasitasnya sekarang belum cukup untuk menampung semua permintaan,” ujar Kholik.
BACA JUGA: Prabowo Targetkan Swasembada 2027, Pengusaha Jatim Dorong Penambahan Lahan Produksi Garam di Jateng
Ia menjelaskan, hampir seluruh garam yang masuk ke SPJT berasal dari koperasi garam rakyat, termasuk dari Pati yang menjadi salah satu penyumbang terbesar. Alur pendistribusiannya mulai dari petambak, masuk ke koperasi, lalu BUMD olah.
“Skema ini membuat harga garam di tingkat petambak stabil di kisaran Rp1.900 per kilogram,” lanjutnya. “Kalau sistem ini diperluas dan kapasitas produksinya ditambah, daya serapnya bisa jauh lebih besar lagi.”
BUMD tersebut, menurutnya, menjadi penghubung antara petani garam dan pasar industri. Garam dari koperasi petambak, utamanya di Pati, SPJT serap dengan harga beli sekitar Rp1.900 per kilogram, angka yang ia nilai cukup menguntungkan bagi petani garam.
“Pola ini bagus, karena mengangkat petani garam. Ini sejalan dengan kebijakan nasional dan Perpres 17/2025 tentang swasembada garam konsumsi pada 2027,” imbuhnya.