SEMARANG, beritajateng.tv – Jumlah warga keturunan India di Kota Semarang, Jawa Tengah, memang tak sebanyak Medan, Jakarta, atau Bali. Namun, denyut India tetap terasa di kota Atlas ini. Ia hidup dalam jejak sejarah, aroma masakan, hingga ruang ibadah yang terbuka bagi perbedaan.
Sejarawan asal Semarang, Joseph Army Sadhyoko, menuturkan, orang-orang Gujarat, India, sudah singgah di Kota Semarang sejak abad ke-18. Mereka datang untuk berniaga, menjalin jalur pelayaran yang menghubungkan Asia Selatan dengan Asia Tenggara.
“Dalam catatan kolonial Belanda, intensitas kedatangan orang-orang Gujarat ke Asia Tenggara tercatat sekitar abad ke-18. Semarang menjadi salah satu pelabuhan penting di pesisir utara Jawa, sehingga mereka bisa menetap di kawasan Pekojan,” ujar Joseph kepada beritajateng.tv, Kamis, 18 September 2025.
Joseph mengungkap, nama daerah Pekojan di Kota Semarang berasal dari “Koja”, sebutan untuk komunitas muslim India. Kawasan ini berada tidak jauh dari Pecinan, pusat perdagangan Kota Semarang kala itu. Bersebelahan, namun punya warna berbeda. Jika Pecinan penuh dengan jejak Tionghoa, Pekojan menyimpan kisah para pedagang India yang menjadikan bisnis sebagai jalan bertahan hidup.
“Motif orang India masuk ke Asia Tenggara ya sederhana, berdagang, karena bidang pemerintahan atau militer tak mungkin mereka masuki. Jadi, keterampilan daganglah yang membuat mereka bertahan,” jelas Joseph.
Saat ini, jejak tersebut memang tak selalu tampak secara kasat mata. Sebab, tutur Joseph, Komunitas Koja telah berbaur dengan masyarakat Semarang. Kendati begitu, peninggalan kuliner mereka masih bertahan. Bubur India, misalnya, rutin hadir setiap Ramadan di Masjid Jami’ Pekojan.
“Kalau budaya Indianya persis, yang masih terasa ya produk kuliner. Itu yang bisa mereka nikmati meskipun komunitasnya sendiri sudah membaur dengan warga lokal Semarang,” tambah Joseph.
Kedai Bangla Java: Rempah, Masala, dan Rasa India yang Menyapa Lidah Warga Semarang
Jejak perdagangan masa lampau itu kini menemukan wujud barunya lewat cita rasa. Salah satunya hadir di Kedai Bangla Java, rumah makan khas India yang berlokasi di Jalan Klipang Raya, sekitar 10 kilometer dari pusat Kota Semarang.
Sang pemilik, MD Monirul Islam, lahir di Bangladesh dari keluarga berdarah West Bengal, India. Sejak muda ia sudah merantau ke Ipoh, Malaysia, sebelum akhirnya menikah dengan perempuan asal Semarang, Rini Arina Prapti, dan membuka usaha kuliner di kota istrinya.
“Masala itu jiwa masakan India, dari situ aroma dan rasanya keluar. Tapi tentu kami menyesuaikan, supaya lidah orang Jawa Tengah juga bisa menerima. Kalau tamunya orang lokal, bumbu dibuat lebih ringan. Kalau tamunya orang Timur Tengah atau India, tetap kami sajikan yang otentik,” ujar Monirul saat beritajateng.tv jumpai langsung di kedainya, Rabu, 17 September 2025.
Di kedainya, pengunjung bisa mencicipi nasi biryani ayam atau sapi, kari ikan, kari ayam, hingga roti canai dan paratha. Masakan tak disajikan dengan porsi besar seperti di India, tetapi lebih sederhana dan ramah di kantong.
Meski begitu, kekuatan rasa tetap terjaga. Sebagian besar rempah ia tumbuk sendiri, menjaga kesegaran yang tidak tergantikan oleh bumbu instan.
BACA JUGA: Peliputan Manusiawi di Tengah Demonstrasi: Jurnalis India Tekankan Pentingnya Kebenaran dan Keberanian
“Intinya kami ingin orang Semarang bisa merasakan masakan India tanpa harus jauh-jauh ke kota besar lain,” tambahnya.
Bangla Java memang terletak jauh dari pusat kota. Namun pelanggan datang silih berganti, dari warga sekitar hingga ekspatriat India yang rindu cita rasa kampung halaman. Bagi mereka, sepiring biryani hangat dan segelas masala tea mampu menghapus jarak ribuan kilometer dari tanah kelahiran.
“Kalau orang India datang ke sini, mereka bilang rasanya seperti di rumah. Itu yang bikin kami semangat masak setiap hari,” ungkap Monirul.
Bagi warga Semarang, kedai ini juga jadi ruang perjumpaan. Rasa masala tea yang pedas hangat, roti canai lembut dengan kuah kari pekat, atau aroma nasi biryani yang mengepul membuat banyak lidah lokal jatuh hati. Ada yang sekadar mampir usai bekerja, ada pula yang menjadikannya langganan keluarga.
Jauh dari hiruk-pikuk pusat Kota Semarang, Bangla Java menjadi jembatan kecil antara Semarang dan India. Dari rempah yang ditumbuk dengan tangan, Monirul meracik cerita lintas negara: lahir di Bangladesh, berdarah India, dan kini melekat di Kota Semarang lewat masakannya.
Harmoni Hindu India dan Jawa yang Terwujud di Pura Agung Girinatha Semarang
Tak ada kuil Hindu India di Kota Semarang. Namun, Pura Agung Girinatha, yang berlokasi di Bendungan, Kecamatan Gajahmungkur, Kota Semarang, menjadi rumah bagi umat Hindu Nusantara sekaligus umat Hindu India yang merantau dan bekerja di kota ini.
Ketua Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kota Semarang, I Nengah Wurta Darmayan, menyebut ada sekitar 500 umat Hindu India di Kota Semarang dan sekitarnya. Nengah menuturkan, sebagian besar dari mereka bekerja di sektor garmen dan tekstil.
Meski membawa tradisi ibadah yang berbeda dengan umat Hindu Nusantara, mereka tetap menemukan ruang untuk bersembahyang bersama.
“Kalau alirannya sama dengan Hindu Nusantara atau Jawa seperti Siwa, mereka sembahyang di dalam pura bersama. Tapi kalau berbeda, seperti Hare Krishna atau yang memuja Ganesha, kami sediakan tempat khusus di area Nista Mandala pura, ada altar dengan arca Ganesha,” ujar Nengah, Rabu, 7 September 2025.
Ia menambahkan, Hindu India dan Nusantara memiliki perbedaan dalam tata cara upacara atau persembahyangannya. Di India, kata Nengah, setiap aliran punya cara sendiri dalam memaknai Tuhan.
“Ada yang memuja Ganesha sebagai lambang kebijaksanaan, ada pula yang mengikuti jalan Krishna lewat aliran Hare Krishna. Sementara di Indonesia, sejak Dang Hyang Nirartha masuk, berbagai perbedaan itu dipersatukan dalam satu pakem besar, yaitu Siwa Siddhanta,” terang Nengah.
BACA JUGA: Representasi Perempuan dalam Politik Minim, Jurnalis Asal India Dorong Jurnalisme Peka Gender
“Di Indonesia, perbedaan aliran dalam Hinduisme itu disatukan. Tapi kita tetap akomodatif terhadap saudara-saudara kita dari India yang ingin menjalankan tradisinya,” lanjut Nengah.
Pura Agung Girinatha pun menjadi bukti bahwa spiritualitas mampu menjembatani perbedaan. Saat umat Hindu Nusantara menyalakan dupa dengan iringan kidung Jawa-Bali, di sisi lain, umat Hindu India melantunkan doa dan melaksanakan puja di altar Ganesha.
Nengah menuturkan, ruang ibadah itu tetap hidup, meski suara, bahasa, dan gestur yang umatnya lantunkan berbeda.
“Kami PHDI Semarang mempersilakan umat Hindu India melaksanakan perayaan besar seperti Ganesha Chaturthi atau Diwali, biasanya saya juga hadir menyaksikan. Yang penting mereka menjalankan tattwa Hindu sesuai ajaran,” tambah Nengah.
Harmoni itu membuat Pura Agung Girinatha tak sekadar menjadi tempat sembahyang, tetapi juga simbol perjumpaan lintas budaya. Semarang, kota pelabuhan yang dulu menerima pedagang dari Gujarat, kini juga merangkul spiritualitas India yang datang bersama para ekspatriat.
Jauh dari tanah kelahiran, umat Hindu India tetap bisa menjalankan puja dengan khidmat, menyalakan wewangian, menabuh lonceng kecil, hingga melantunkan mantra dengan lantang. Di Pura Agung Girinatha, perbedaan bukan sekat, melainkan jembatan.
BACA JUGA: Sajian Bubur India di Masjid Jami Pekojan, Tradisi Turun-temurun yang Terus Lestari
Tiga kisah tersebut, dari jalur dagang, masala dalam masakan, hingga ruang spiritual, menunjukkan Semarang bukan sekadar kota pelabuhan, melainkan ruang perjumpaan antarbudaya.
Jejak India hadir dalam lapisan kecil yang tetap hidup, dari daerah Pekojan yang lahir karena perdagangan, sedapnya masala yang ditumbuk di dapur Klipang, hingga puja yang mewarnai altar Ganesha di Pura Agung Girinatha.
Bagi jurnalis, kisah semacam ini adalah inti sebuah feature. Shoeb Kagda, dalam sesi Voices of Tomorrow: Elements of Strong Feature Writing pada Minggu, 14 September 2025, menekankan bahwa feature bukan sekadar memaparkan fakta, melainkan menghubungkan titik-titik peristiwa, menjelaskan dampak, dan menyalakan emosi pembaca.
Hal itu selaras dengan pesan Ravi Velloor dari Straits Times, bahwa sebuah feature harus mudah dipahami, berwibawa karena didorong riset yang kuat, dan tetap bernilai meski dibaca bertahun-tahun kemudian. “Ceritakan lewat anekdot, orang, tempat, dan produk. Itu yang membuat pembaca merasa dekat,” ucap Ravi.
Senada, jurnalis senior Harian Waspada, Dian Warastuti, juga mengingatkan bahwa feature yang baik harus meninggalkan jejak emosional. Bukan sekadar laporan, melainkan cerita yang memberi makna lebih dalam. “Di ujung tulisan, akan lebih indah bila menyisipkan pesan atau ajakan, agar tulisan punya dampak lebih besar,” ujar Dian.
Jejak India di Kota Semarang memang tak sebesar di Medan atau Jakarta. Namun, justru di kota pelabuhan ini ia menemukan wujud yang khas, dari catatan niaga pedagang Gujarat, aroma masala yang mengepul di dapur kecil, hingga spiritualitas yang berpadu dalam puja di Pura Girinatha. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi