Dyah menyebut, meski keterangan tersebut berasal dari polisi maupun pelaku saat konferensi pers, namun tugas wartawan atau medialah untuk menuliskannya dengan benar.
“Media bekerja dengan memberi makna pada peristiwa dan membentuk pengetahuan. Media merekam dinamika di masyarakat, di mana perempuan dituntut untuk menjaga dirinya, perempuan dituntut untuk berbusana yang aman. Yang muncul di publik seperti itu dan itu yang direkam oleh media,” imbuhnya.
Soal pemberitaan perempuan di media, AJI singgung jurnalisme advokasi
Lebih lanjut, Dyah mengungkapkan jika konsep jurnalistik yang sedang berkembang adalah perspektif jurnalisme advokasi. Itu ialah jurnalisme yang tidak hanya memberitakan sebuah peristiwa. Melainkan, juga membela seseorang yang lemah serta mendorong pembaca untuk bertindak melakukan sesuatu.
“Jurnalisme advokasi berprinsip menuliskan fakta, terkini, berimbang, sehingga berbeda dengan propaganda. Ketika menuliskannya kita punya tujuan, untuk membuka ruang memberantas ketidakadilan,” imbuhnya.
BACA JUGA: Jelang Pemilu 2024, AJI Indonesia Ajak Mahasiswa Semarang Lawan Misinformasi
Ia juga memberikan tips menulis berita berprespektif gender. Misal, menghindari penggunaan kata yang melabeli perempuan, mengobjektifikasi tubuh perempuan, hingga memojokkan korban.
“Diksi itu penting, ada beberapa kata yang bisa kita hindari. Semisal perempuan cantik, langsing, atau montok, itu memancing orang untuk membayangkan tubuh obyek pemberitaan, jangan gunakan kata-kata seperti ini,” imbaunya. (*)
Editor: Mu’ammar Rahma Qadafi