SEMARANG, beritajateng.tv – Kekerasan seksual mengintai jurnalis perempuan di Kota Semarang. A, seorang jurnalis media online, mengaku mendapat pelecehan seksual berbentuk verbal saat mewawancarai narasumber yang juga tokoh agama.
B, jurnalis lainnya, juga merasakan hal yang sama. Parahnya, B mendapat pelecehan seksual berbentuk verbal di tempat yang seharusnya aman untuk dirinya, yaitu di ruang redaksi.
Dua kasus tersebut nyata terjadi di Kota Semarang. Mirisnya, mereka ragu-ragu untuk melaporkan kejadian tersebut ke pihak yang berwenang.
Sub Bidang Pengaduan dan Penanganan Kekerasan Seksual Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Dyah Ayu Pitaloka, menyebut, kurangnya peraturan jelas yang mengatur soal pelecehan seksual menempatkan jurnalis wanita dalam posisi yang berbahaya.
Selain takut akan berdampak pada status kerjanya, mereka juga masih takut akan stigma negatif yang nanti mereka terima. Menurut Dyah, minimnya jurnalis perempuan baik di dalam peliputan maupun di dalam ruang redaksi merupakan salah satu faktornya.
“Secara umum masih ruang redaksi di Indonesia belum berperspektif gender. Misalnya berapa ruang redaksi yang punya pimred (pimpinan redaksi) perempuan, berapa yang editornya perempuan? Secara umum memang masih sangat timpang kondisi di sekitar kita,” kata Dyah kepada beritajateng.tv seusai mengisi seminar di Kota Semarang, beberapa waktu yang lalu.
Dyah mengatakan, jajaran pimpinan ruang redaksi sebagian besar masih diisi oleh laki-laki. Tidak banyak media yang memiliki pimred seorang perempuan.
Bahkan, lanjut Dyah, dalam proporsi reporter lapangan pun tak banyak perempuan yang bertahan lama. Hal tersebut lantaran perempuan sering kali menemui kendala.