Jateng

Kenang Tragedi Mei 1998, Boen Hian Tong Semarang: Harus Berani Lawan Kejahatan HAM, Jangan Takut Tekanan

×

Kenang Tragedi Mei 1998, Boen Hian Tong Semarang: Harus Berani Lawan Kejahatan HAM, Jangan Takut Tekanan

Sebarkan artikel ini
Mei 1998
Salah seorang pengunjung menaruh bunga pada altar Sinci Ita Martadinata di Gedung Boen Hian Tong, Kota Semarang, Sabtu, 17 Mei 2025. (Made Dinda Yadnya Swari/beritajateng.tv)

“Peringatan ini bukan untuk mengenang, tapi membangun masa depan yang lebih baik. Kita harus belajar dari sini untuk menciptakan masyarakat yang adil, toleran dan, memperjuangkan HAM. Kita gunakan momen ini akan pentingnya kesadaran kolektif untuk menegakkan HAM,” ungkap Rudi.

“Mari kita berjanji agar tragedi seperti ini tidak terulang lagi,” pungkasnya.

Tragedi 98 sudah 27 tahun berlalu, kekerasan seksual masih menghantui perempuan tanah air

Rujak pare bunga kecombrang pun memiliki makna mendalam yang menggambarkan kelamnya tragedi Mei 1998.

Pemilik Gedung Boen Hian Tong, Haryanto Halim, mengungkap tradisi mengulek pare dengan sambal bunga kecombrang mengingatkan bagaimana nasib naas perempuan Tionghoa pada 1998 silam yang terbunuh dan terudapaksa.

“Sebagai upaya untuk melawan lupa, tradisinya mencicipi pare mentah atau rujak pare dengan sambal bunga kecombrang,” ungkap Halim.

Menyoal tema peringatan 1998 tahun ini, Halim menilai kekerasan seksual, terutama pada kasus relasi kuasa, masih terjadi hingga saat ini.

BACA JUGA: Tak Hanya Sinci Ita Martadinata, Pahitnya Pare dan Cantiknya Bunga Kecombrang Jadi Simbol Tragedi 1998

“Abaikan nama baik, lawan, laporkan! Bukan melaporkan tragedi ’98, tapi di depan mata kita, kita melihat dan menyaksikan kekerasan seksual masih terjadi di tanah air kita. Kekerasan seksual antara dokter dan pasiennya terjadi di Indonesia, antara profesor dan mahasiswanya terjadi di Jawa Tengah,” tuturnya.

Kata Halim, kekerasan seksual pun masih menghantui perempuan di ruang yang seharusnya sangat aman.

Ia ingin peringatan Mei 1998 ini bisa membuat perempuan penyintas kekerasa seksual berani melawan dan melaporkan.

“Kekerasan seksual pendeta kepada jemaatnya, kekerasan seksual pemimpin pondok pada santrinya terjadi. Sebagai korban harus berani melaporkan; kalau berani melapor dan melawan, akan bisa menghentikan pelakunya,” pungkasnya. (*)

Editor: Mu’ammar R. Qadafi

Simak berbagai berita dan artikel pilihan lainnya lewat WhatsApp Channel beritajateng.tv dengan klik tombol berikut:
Gabung ke Saluran

Tinggalkan Balasan