BACA JUGA: Wakil Kepala BGN Menangis Marak Keracunan MBG, Hersubeno: Kepalanya Malah Remehkan Kasus
Keterlibatan kampus, lanjutnya, tidak hanya membantu pengawasan, namun juga membuka ruang kolaborasi lintas sektor. Terlebih, Cahyo menyebut banyak kampus di Kota Semarang dan Jawa Tengah yang memiliki prodi kesehatan dan gizi.
“Kalau di Semarang misalnya, ada Undip, Unissula, Unnes, semua punya FKM (Fakultas Kesehatan Masyarakat), itu bisa ajak kolaborasi. Kampus punya anggaran untuk kegiatan pengabdian, jadi bisa sharing pembiayaan. Secara kualitas makanan lebih terjamin, dan juga bisa menekan serapan APBN,” tegasnya.
Tak hanya itu, Cahyo juga menyoroti pentingnya melibatkan ahli gizi ketimbang sekadar mengandalkan jejaring non-profesional.
“Purnawirawan atau jejaring militer penting untuk distribusi, tapi soal kualitas makanan ya mau tidak mau harus ada ahli gizi. Itu yang harus jadi prioritas,” tegas dia.
Pengelolaan MBG oleh daerah akan maksimal ketimbang instruksi dari pusat
Kendati mengkritik, Cahyo tak sepenuhnya menolak program MBG. Ia menegaskan harus ada evaluasi agar program tetap bisa berjalan, namun harus lebih fleksibel.
“Kalau menurut saya, syarat utama adalah bagaimana pemerintah memaksimalkan sumber daya lokal. Jangan membuka open rekrutmen yang tidak sinkron, apalagi yang hanya berdasarkan siapa yang punya dana,” ucapnya.
Cahyo menilai sekolah kejuruan yang memiliki jurusa tata boga dan kampus dengan prodi kesehatan atau gizi bisa menjadi basis utama penyelenggara MBG.
BACA JUGA: Cegah Kasus Keracunan MBG, PPJI Jateng Siap Dampingi Dapur SPPG di Tiap Kabupaten/Kota
“[Dari] SMK bisa libatkan jurusan tata boga, kampus kesehatan juga bisa; mereka pasti serius menjaga kualitas. Kalau di daerah yang tidak ada kampus, bisa kerja sama dengan katering atau pihak lokal yang terpercaya; itu lebih realistis,” jelasnya.
Ia mengungkap, pendekatan berbasis lokal akan menjaga kualitas sekaligus menekan biaya alih-alih menyerahkan seluruh pelaksanaannya ke pemerintah pusat.
“Kalau semua instruksi dari pusat, pembiayaan pasti berat. Tapi kalau mengoptimalkan sumber daya lokal, dari kampus sampai sekolah, bahkan SMK, itu bisa lebih efisien. Jadi kualitas jalan, biaya juga lebih ringan,” pungkas Cahyo. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi