Gaya Hidup

Ketekunan Seniman Semarang Antar Kaligrafi China Jadi Warisan Budaya Tak Benda

×

Ketekunan Seniman Semarang Antar Kaligrafi China Jadi Warisan Budaya Tak Benda

Sebarkan artikel ini
Liong Hwa Hing atau Hendri Hermawan, pelestari kaligrafi China di Kota Semarang. (Yuni Esa Anugrah/beritajateng.tv)
Liong Hwa Hing atau Hendri Hermawan, pelestari kaligrafi China di Kota Semarang. (Yuni Esa Anugrah/beritajateng.tv)

SEMARANG, beritajateng.tv – Dari sebuah gang sempit di Kampung Sebandaran I, Kecamatan Semarang Tengah, seni kaligrafi China terus hidup dan berkembang. Di sanalah Liong Hwa Hing, pelestari kaligrafi China sekaligus peranakan Tionghoa Semarang, menekuni seni tulis yang telah berusia ribuan tahun.

Ketekunannya kini membuahkan hasil, kaligrafi China yang resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB).

Hampir satu dekade terakhir, Hwa Hing yang juga terkenal dengan nama Hendri Hermawan, rutin menghabiskan waktunya menorehkan tinta di atas kertas.

Setiap goresan bukan sekadar tulisan, melainkan sarat filosofi, petuah kuno, serta nilai keseimbangan jiwa yang di wariskan dari peradaban Tiongkok kuno.

Pengakuan sebagai WBTB menjadi kebanggaan tersendiri, tak hanya baginya, tetapi juga bagi Kota Semarang. Ia menyebut, dari tujuh kesenian khas Semarang yang di ajukan, kaligrafi China menjadi salah satu yang lolos penetapan nasional.

“Yang diajukan dari Semarang ada tujuh kesenian, di antaranya musik karawitan khas Tionghoa, Lam Quan, barongsai, bubur India, kaligrafi China, wingko, roti ganjel rel, dan Sesaji Rwanda Goa Kreo,” ujarnya.

Enam Jenis Huruf, Ribuan Tahun Sejarah

Dalam praktiknya, kaligrafi China tidak berdiri pada satu jenis huruf. Hwa Hing menjelaskan setidaknya ada enam gaya huruf Mandarin yang memiliki teknik dan karakter berbeda, yakni Li Shu, Gai Zhu, Shing Shu, Chao Shu, Jao Shu, dan Jao Cuan.

BACA JUGA: Festival Mustika Rasa Sukses, Walikota Agustina Dukung Seniman Semarang Intens Pamerkan Karyanya

Li Shu merupakan gaya tertua yang berasal dari Dinasti Shang dan kalangan kaisar serta bangsawan gunakan. Seiring runtuhnya dinasti tersebut, muncul huruf Gai Zhu yang berciri tegas dan lurus. Perkembangannya melahirkan Shing Shu yang tulisannya saling terhubung, sebelum akhirnya bergeser ke Chao Shu dan Jao Shu yang terkenal lebih ekspresif dan artistik.

“Jao Shu memang sulit di baca, tapi sangat indah sebagai karya seni. Biasanya di pakai untuk syair,” jelasnya.

Simak berbagai berita dan artikel pilihan lainnya lewat WhatsApp Channel beritajateng.tv dengan klik tombol berikut:
Gabung ke Saluran

Tinggalkan Balasan