Ketidaksesuaian antara jumlah wartawan atau perusahaan pers di lapangan dengan yang terdata di Dewan Pers pun mendapat sorotan Anas. Ia mencontoh, pers di negara benua Eropa yang seluruhnya terdaftar oleh Dewan Pers.
“Jumlah kita sendiri hanya kita yang tau. Ini yang membedakan kita dengan negara di Eropa. Ketika mereka punya media, mereka harus melapor kepada Dewan Pers, soal jumlahnya berapa dan sebagainya. Tapi pascareformasi [di Indonesia] luar biasa, kita bisa membuat media, apapun bisa,” sambung dia.
Anas turut berbagi pengalamannya saat di hubungi oleh Kapolres Sukoharjo yang ia sebut baru menjabat belum lama ini. Ia menuturkan, Kapolres tersebut melapor padanya bahwa ada oknum wartawan yang sering menganggunya di luar keperluan pemberitaan.
“Baru dijabat sudah diganggu media yang tidak dikenal. Cara mengatasinya bagaimana? Saya sampaikan ke Pak Kapolres, ‘tugas wartawan hanya mencari berita dan konfirmasi. Selain itu di tindak tegas saja. Kalau Bapak gak kenal wajahnya, berari profesinya bukan wartawan’,” tegas Anas.
BACA JUGA: Ketua DPRD Jawa Tengah Sumanto Siap Jalankan Inpres Efisiensi APBN & APBD 2025 Arahan Prabowo
Pejabat publik pun, kata Anas, kerap jadi sasaran oknum wartawan yang tak bertanggung jawab tersebut.
“Berdasarkan data, media di Indonesia ada 49 ribu sekian, 43 ribu itu media siber. Itu yang berbadan hukum, syarat di negara kita kan media berbadan hukum dan jelas alamatnya. Tapi yang tersertifikasi hanya 3 ribu sekian,” ungkapnya.
Oleh sebab itu, Anas berharap perusahaan pers bisa mendaftarkan dirinya secara administratif ke Dewan Pers untuk mencegah fenomena ‘wartawan bodrex’ itu terus terjadi.
“Persoalan itu jadi tanggung jawab kita. Tantangan kita mengedukasi masyarakat bahwa kita hadir sebagai wartawan yang benar,” pungkasnya. (*)
Editor: Farah Nazila