“Sekian tahun yang lalu sebenarnya jumlah angkot di Kota Semarang sekitar tiga ribu ya. Kami sopir angkot sudah menerima, saat itu, adanya perubahan transportasi yang bersifat massal. Maka munculah Trans Semarang, ada shuttle, feeder, bahkan ada rencana subfeeder,” ungkap Supomo.
Alih-alih mengizinkan bajaj beroperasi, Supomo berharap Pemkot Semarang sebaiknya fokus pada program transportasi massal yang sudah ada, bukan menambah operator baru.
“Yang notabene ini justru tidak membuat iklim sejuk para pelaku transportasi khususnya di Kota Semarang ini. Jadi, kami sangat mendukung transportasi massal di Kota Semarang,” lanjutnya.
BACA JUGA: Bajaj Semarang: Pilihan Murah untuk Belanja atau Masalah Baru di Jalan Raya?
Menurut Supomo, jumlah angkot yang dulu beribu-ribu itu kini tinggal 600 hingga 800 unit saja. Sebagian sopir memang dialihkan ke feeder atau Trans Semarang, tetapi banyak pula yang tidak bisa tertampung.
“Kalau dulu angkot di Kota Semarang itu kurang lebih sekitar tiga ribuan. Setelah ada transportasi massal, sebagian teman-teman operator angkot masuk ya. Tapi setelah transportasi online masuk, banyak yang belum diangkut. Sekarang ini angkot yang eksis ya kurang lebih hanya sekitar 600 sampai 800-an saja,” paparnya.
Ia menyebut, kondisi itu sudah ironis. Oleh sebab itu, ia berharap program pemerintah soal subfeeder angkot yang ramah lingkungan jangan sampai terganggu oleh hadirnya moda baru seperti bajaj.
“Jangan sampai program pemerintah untuk mewujudkan transportasi elegan dan nyaman justru tambah permasalahan dengan adanya moda transportasi baru,” pungkas Supomo. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi