Terkait menu MBG yang sempat memunculkan kontroversi karena menyajikan burger, Setyo menilai perlu melihat hal itu secara bijak.
“Pada prinsipnya, menu harus seimbang dan sesuai kebutuhan gizi. Kalau membuat burger dengan komposisi seimbang, itu tidak masalah. Namun, aturan pemerintah jelas, misalnya tidak boleh berbasis tepung atau harus berbasis pangan lokal. Itu harus jadi acuan,” ujarnya.
BACA JUGA: Dugaan Keracunan MBG di SDN Ungaran 01, Dewan Pendidikan: SPPG Terbebani Sajikan 3 Ribu Porsi Lebih
Setyo menyarankan agar pengawasan tidak hanya oleh internal penyelenggara, melainkan melibatkan pihak luar seperti ahli gizi dari puskesmas, rumah sakit, hingga perguruan tinggi.
“Minimal harus ada dua pengawas, satu di penerimaan bahan, satu di pengolahan. Perlu audit rutin untuk memastikan pelaksanaan SOP. Bahkan kolaborasi dengan kampus bisa membantu lewat pelatihan atau sertifikasi bagi tenaga pengolah makanan,” sarannya.
Ia pun menyoroti kualitas tenaga pemasak yang mayoritas direkrut tanpa latar belakang pendidikan gizi.
“Tenaga pemasak harus memiliki pelatihan higiene dan sanitasi, agar tidak membawa penyakit atau mencemari makanan,” tandasnya.
Setyo berharap kasus KLB ini menjadi momentum perbaikan sistem MBG. “SPPG harus lebih terbuka terhadap audit eksternal agar mutu pangan terjamin. Program ini baik untuk gizi anak bangsa, tapi harus dijalankan dengan standar ketat,” pungkasnya. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi