Dan sayangnya, logika mistika ini masih terasa di kalangan Gen Z.
Ketika kita berbicara logika mistika, kita merujuk kepada kalangan masyarakat menengah ke bawah. Ya, karena masyarakat di sana masih dominan dengan kepercayaan ‘orang pintar’ alias dukun untuk berobat daripada pergi ke dokter. Alasannya pun berbeda-beda, dari tradisi hingga biaya dokter yang cenderung mahal.
Namun, pada faktanya, hingga kini masih banyak anak-anak muda yang masih menerapkan logika mistika ini. Sebut saja kepercayaan terhadap zodiac yang klaimnya memiliki ramalan akurat tentang kehidupan masa depan seseorang. Padahal, penentu kehidupan masa depan adalah orang itu sendiri. Contoh lainnya adalah law of attraction ini.
Di TikTok, salah satu pengguna, mengundang salah satu psikolog bernama Ayank Irma. Dari sana, psikolog tersebut menyebut bahwa law of attraction ini memang ada dan patut untuk diterapkan.
Apa yang membuat orang menerapkan logika mistika?
Ini yang juga menjadi pertanyaan yang menurut saya menarik untuk dibahas. Rupanya, alasan orang menerapkan logika mistika adalah perasaan nyaman dalam dunia simbol dan ritual. Yang mana hal ini bisa bertentangan dengan prinsip dasar rasionalitas seseorang.
Gen Z terkenal sebagai angkatan yang menyukai hal yang anti ribet, sat set dan simple. Nah, mengetahui law of attraction ini cukup meyakinkan mereka untuk menerima ‘eksistensinya’. Bagaimana tidak? Konsep ‘mikir-mikir positif bikin hidup kita jadi positif’, siapa yang tidak suka dengan konsep sederhana tersebut?
BACA JUGA: Sering Dengar Kata Salty, Red Flag, FOMO? Ini Kata Pakar Unnes Soal Hobi Gen Z Suka Bikin Istilah Baru
Meskipun law of attraction ini ramai di media sosial dan populer di kalangan motivator, hingga kini masih belum ada bukti konkret secara ilmiah untuk menjelaskan bahwa hukum tarik menarik ini ada. Bahkan, secara umum, law of attraction masih dipandang sebagai ilmu semu atau pseudoscience karena tak memiliki dasar ilmiah.
Dari sini, dapat kita pahami bahwa logika mistika, dengan segala kekaburan dan ketidakpastiannya, tampak semakin tidak sesuai dengan tuntutan kebutuhan ilmiah dan teknologis yang semakin meningkat. Oleh karena itu, relevansinya di era ini dapat teranggap sebagai beban berat bagi kemajuan intelektual dan inovasi. (*)