SEMARANG, beritajateng.tv – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Semarang mencatat terjadi 102 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sepanjang tahun 2024. Di antara jumlah tersebut, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menjadi bentuk kekerasan terbanyak.
Hal itu terungkap dalam rilis laporan Catatan Tahunan (Catahu) 2024 LBH APIK Semarang, di Gedung Monod Diephuis, Kamis, 12 Desember 2024.
Menurut Catahu 2024, kasus KDRT yang diterima oleh LBH APIK mencapai 43 kasus. Jumlah itu terbagi mulai dari KDRT berbentuk fisik, psikis, penelantaran rumah tangga, seksual, hingga tidak diketahui jenis KDRT-nya.
Direktur LBH APIK Semarang, Raden Rara Ayu Hermawati Sasongko, mengungkapkan, ada tiga faktor utama mengapa KDRT masih saja terjadi. Yakni, lantaran adanya relasi ekonomi, budaya patriarki, hingga alasan agama.
“Yang pertama relasi ekonomi, ketergantungan, akhirnya korban tidak bisa keluar dari lingkaran kekerasan oleh pelaku,” kata Ayu kepada beritajateng.tv usai acara.
BACA JUGA: LRC-KJHAM Catat 5 Kasus Femisida di Jawa Tengah Selama 2024, Kekerasan pada Perempuan Pun Tinggi
Faktor kedua, lanjut Ayu, yakni budaya patriarki. Menurutnya, stigma negatif terkait perceraian atau status janda masih melekat kuat di masyarakat. Akibatnya, perempuan tidak percaya diri melakukan perceraian meski menjadi korban KDRT.
Lalu, faktor berikutnya ialah agama. Ayu mengisahkan, LBH APIK pernah mendampingi seorang perempuan yang menjadi korban kekerasan oleh suaminya selama 10 tahun.
Perempuan itu enggan mengajukan gugatan perceraian karena ia menganggap agamanya melarang perceraian.