SEMARANG, beritajateng.tv – Terlahir sebagai orang dengan kemampuan mendengar yang baik, sejujurnya membuat Stevanus Ming tak pernah mengira akan menjadi juru bahasa isyarat (JBI). Namun, rasa cintanya terhadap sang istri menuntun Aming untuk mengenal dunia bahasa gestur tersebut.
“Bisa belajar bahasa isyarat karena istri saya tuli sejak lahir, jadi saya wajib belajar, itu sejak tahun 2013,” jelasnya kepada beritajateng.tv, Senin (22/5/2023).
Koh Aming, sapaan akrabnya, kemudian memutuskan mengikuti pelatihan di Pusat Layanan Juru Bahasa Isyarat (PLJ) dan aktif menjadi JBI sejak tahun 2016 silam.
BACA JUGA: Beda Kode Isyarat Tiap Daerah, Begini Cara Teman Tuli Berkomunikasi
Kepolisian pun sering menggunakan jasanya, baik Polrestabes Semarang atau Polda Jawa Tengah, juga di instansi-instansi pemerintahan seperti BPBD, Dinas Sosial, hingga Bapenda Kota Semarang.
Menjadi JBI lebih dari 6 tahun, tak jarang Aming menemui beberapa kesulitan. Menurut Aming, menerjemahkan bahasa isyarat adalah menerjemahkan audio ke bentuk visual sehingga memiliki tingkat kesulitan berbeda.
“Yang menjadi problem atau masalah pada saat kita menjadi juru bahasa isyarat itu ketika pembicara atau narasumber cepat ngomongnya. Kita selaku penerjemah akan bingung, karena kita dari audio kita ubah ke visual, berbeda dengan menerjemahkan misal bahasa Indonesia ke bahasa Inggris,” lanjutnya.
Ada Tantangan Tersendiri dalam Menerjemahkan Bahasa Isyarat
Oleh karena itu, lanjut Aming, dalam menerjemahkan bahasa isyarat, lumrah apabila terdapat jeda beberapa detik. Pun dalam beberapa kesempatan, seorang JBI harus mencari padanan kata yang tepat untuk kemudian ia terjemahkan ke dalam bahasa isyarat. Hal tersebut Aming akui sebagai kesulitan yang sering kali ia hadapi adalah memberikan pemahaman kepada Teman Tuli.