Selain itu, NHS menegaskan parpol juga harus mendidik pemilih. Itu tak kalah penting untuk membendung politik yang transaksional.
NHS kritik Pemilu mahal, politik uang mengakar, dan pelanggaran etik penyelenggara
Lebih lanjut, Ketua Departemen Ilmu Pemerintahan FISIP Undip itu juga menyinggung 3 (tiga) persoalan mendasar yang membayangi demokrasi elektoral di Indonesia.
Adapun tiga persoalan itu yakni biaya pemilu yang mahal, politik uang yang mengakar, hingga rendahnya integritas penyelenggara.
“Yang paling mahal justru mahar politik, itu tidak terbatas dan mendorong korupsi politik maupun jual beli kebijakan setelah terpilih,” ucap NHS.
Ia menuturkan, sekitar 64 persen anggaran Pemilu habis dibelanjakan untuk honorarium petugas, dari pusat hingga TPS. Padahal menurutnya, biaya itu bisa ditekan lewat pemanfaatan teknologi digital.
“Beberapa negara sudah menekan biaya dengan kemajuan teknologi seperti e-counting atau penggunaan kotak suara dari bahan ramah lingkungan yang murah dan kuat,” jelasnya.
BACA JUGA: Begini Kisah Perjalanan Rahayu Saraswati di Dunia Politik, Resmi Undur Diri dari Anggota DPR RI
Problem kedua, kata dia, adalah clientelism atau relasi transaksional antara elit berduit dengan pemilih yang rentan secara ekonomi.
“Ada 30–34 persen penduduk kita yang hanya lulusan SMP atau pernah SMP. Itu yang menjadi basis praktik politik uang,” kata NHS.
Ia turut menyoroti integritas penyelenggara pemilu. Berdasarkan data Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), kata NHS, ada 790 pengaduan dugaan pelanggaran etika sepanjang 2025.
“Artinya, orang baik sebenarnya lebih banyak daripada yang melanggar. Tapi penyelesaian perkara tidak cukup hanya dengan sidang, perlu pendekatan pencegahan dan pendidikan,” pungkasnya. (*)
Editor: Farah Nazila