“Instalasi yang ada di pameran ini menggambarkan gimana sih struggle-nya masyarakat pesisir dalam menavigasi kehidupan sehari-hari di pesisir,” lanjutnya.
Gambarkan berbagai aspek kehidupan masyarakat pesisir
Lebih jauh, Rizqa menjelaskan, untuk menghasilkan karya dalam pameran ini, 24 peserta UCA menjalani serangkaian proses yang berlangsung selama lima bulan. Mulai dari pelatihan, riset lapangan, pengumpulan fakta, hingga penyusunan karya seni.
Adapun isu dalam pameran ini juga menggambarkan berbagai aspek kehidupan masyarakat pesisir yang terdampak perubahan iklim. Seperti kerentanan nelayan, dampak terhadap anak-anak, perempuan dan lansia, hingga kisah petambak.
Rizqa pun berharap, pameran bisa meningkatkan kesadaran masyarakat luas akan isu krisis iklim. Pasalnya, menurut dia, menangani permasalahan ini membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak.
BACA JUGA: Tak Hanya di Tangerang, Kawasan Pagar Laut di Pesisir Utara Kota Semarang Juga Bersertifikat
“Harapannya masyarakat luas lebih aware tentang isu ini dan ada kesadaran yang lebih banyak untuk memulai aksi, baik skala kecil ataupun yang lebih besar Kami percaya untuk menangani isu krisis iklim tidak hanya dibutuhkan upaya dari satu pihak saja tapi juga dari banyak pihak,” tandasnya.
Sementara itu, salah satu peserta, Siera Salsabiela, mengaku mendapatkan pengalaman berharga ketika bisa terjun langsung ke Timbulsloko. Mahasiswa Antropologi Sosial Undip itu membuat instalansi karya bertajuk “Akankah Bertahan atau Pindah”.
“Karena di Timbulsloko itu sudah sangat krisis ya, di mana-mana air dan warga setempat harus beradaptasi. Pilihannya akankan bertahan di tengah situasi seperti itu atau pindah tapi mereka nggak punya tanah di tempat lain,” imbuhnya. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi