Sukarti menetap di kolong jembatan itu tidak sendirian. Saat sang suami memilih tinggal dan menjaga unit rusun, Sukarti menetap di kolong jembatan bersama keluarga anak laki-lakinya. Bahkan, salah satu cucunya lahir dan besar di situ.
Tetap bersyukur di tengah keterbatasan
Tinggal di tempat yang jauh dari kata layak tentu memiliki berbagai keterbatasan. Untuk memenuhi kebutuhan air seperti memasak dan mandi misalnya. Sukarti harus membeli air bersih yang kemudian ia tampung kedalam dua drum berwarna biru.
Sementara untuk listrik, Sukarti tentu tidak mendapat aliran dari PLN. Ia lantas memanfaatkan aki untuk menerangi kolong jembatan itu.
Perihal bantuan pemerintah, Sukarti mengaku hanya mendapat bantuan beras sebanyak 10 kilogram tiap bulannya. Padahal, tempatnya hanya berjarak 5 kilometer dari Balai Kota Semarang.
BACA JUGA: Melihat Potret Pecinan Dulu dan Sekarang Lewat Pameran Kartu Pos
“Walaupun cuma segitu tapi lumayan bisa membantu,” kata Sukarti.
Namun demikian, meski hidup dengan berbagai keterbatasan, Sukarti tetap berkali-kali mengutarakan rasa syukurnya. Menurutnya, hidup di kolong jembatan sudah menjadi pilihannya untuk tetap mencari secuil rejeki.
“Yang penting sehat. Aku miskin nggak papa. Mati nggak papa, dunia tidak dibawa,” tandasnya.(*)
Editor: Farah Nazila