“Untuk meniup slompret harus punya napas panjang. Yang lain itu pernah coba tidak sepanjang saya,” ungkapnya.
Kampung di Semarang yang masih gunakan Slompret Kematian
Sementara itu, Sejarawan Semarang Rukardi Ahmadi memaparkan jika Slompret Kematian adalah sebuah tradisi yang tidak ada di tempat lain. Hal itu lantaran tempat lain lebih memilih menggunakan kentongan, alih-alih slompret.
Meski begitu, Rukardi mengaku jika ia belum tahu secara jelas kapan Slompret Kematian itu muncul. Pasalnya, kurangnya arsip peninggalan yang menyebut Slompret Kematian secara jelas.
“Untuk mencari akar tradisi Slompret Kematian tidaklah gampang. Hampir tidak ada referensi sahih yang bisa menjelaskan. Para tetua kampung hanya bisa menerangkan bahwa tradisi itu sudah ada sejak lama. Sejak kapan? Sedari mereka kecil,” jelas Rukardi.
Namun demikian, ia menduga tradisi mengabarkan berita lelayu dengan tiupan terompet sudah sejak zaman Belanda. Sebab, kata dia, terompet adalah alat musik tiup produk budaya Barat.
BACA JUGA: Semaan Al Qur’an di Masjid Kauman Semarang
Selain itu, slompret juga berperan sebagai representasi dari terompet sangkakala yang akan ditiup Malaikat Isrofil.
“Suara terompet yang melengking bisa didengar dari jarak jauh. Terlebih suasana kampung di Semarang pada masa lalu tidak seberisik sekarang,” sebutnya.
Beberapa kampung di Semarang yang masih menggunakan slompret ialah kampung-kampung lama. Seperti di sekitar Wonodri, Kauman, Kulitan, Tegalsari, Rogojembangan, Bongsari, Baterman, Layur, Tandang, Petompon.
Sementara kampung lainnya kini telah memanfaatkan mikrofon masjid atau mushola untuk menggantikan slompret dalam mengabarkan berita duka. (*)
Editor: Farah Nazila