Hanya saja, kata Mozes, aksi buruh saat itu belum terorganisir secara maksimal. Barulah saat VSTP hadir, gerakan buruh dapat lebih terencana dan serempak.
“Begitu di Semarang ada VSTP, mereka rapat kalau misalnya pemimpin VSTP sampai ditangkap maka buruh-buruh harus mogok. Melihat banyaknya kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial yang merugikan mereka,” bebernya.
Semarang menjadi poros pergerakan buruh
Mozes menambahkan, penangkapan Ketua VSTP, Semaoen menjadi titik awal aksi mogok terbesar se Hindia-Belanda pada 9 Mei 1923 silam. Tak hanya pekerja kereta api, tapi juga buruh tram, pedagang di pasar, tukang sado, pekerja bengkel dan kusir dokar ikut dalam aksi ini.
“Terbesar nggak cuma di Kota Semarang, karena setelah itu meluas hampir di seluruh Pulau Jawa, soalnya aliansi buruh punya koneksi satu dengan lainnya di berbagai kota, VSTP nggak hanya di Semarang,” jelasnya.
Mozes menyebut, aksi meluas ke beberapa daerah lain, seperti Pekalongan, Tegal, Cirebon, Kertosono, Madiun dan Surabaya.
Dampaknya, perekonomian waktu menjadi terhambat.
BACA JUGA: 700 Orang Akan Geruduk Kantor Gubernur Jateng saat Hari Buruh, Protes Kawasan Candi Semarang
Pasalnya, kereta api dan trem masih menjadi tulang punggung jalur distribusi berbagai komiditas.
“Setelah itu pemerintah kolonial mengatasi gerakan ini dengan represif, seperti menurunkan tentara biar cepat tertangani,” tandas Mozes.
Sayangnya, menurut berbagai sumber, aksi mogok buruh besar-besaran di Jawa itu tak berakhir manis. Salah satunya pemerintah mengasingkan Semaoen ke Belanda. (*)
Editor: Farah Nazila