Sehingga, di bagian ketiga karya ini ada gradasi di mana ia menampilkan kemaskulinan tubuh seorang penari lengger melalui tari Kelono. Sebab, dalam siklus tari lengger juga ada tari Bolodewo.
Di sinilah terjadi transformasi dari feminim ke maskulin hingga kemudian menuju pada tarian kontemporer, sebuah pengembangan inovasi tubuh baru yang mulai mengenal musik-musik elektronik seperti kondisi sosial terkini.
Maka itu, ia mencoba menyambungkan pikiran orang Asia, orang Eropa, orang Amerika atau tradisi dengan tubuh-tubuh yang sudah mahfum dengan perangkat-perangkat musik elektronik tersebut.
BACA JUGA: Semarak Festival Rawa Pening 2025, Dari Larungan Sesaji hingga Pentas Seni Lintas Benua
Pada bagian ini ia mengolaborasikan antara gerakan-gerakan tradisi yang tersimbolkan dengan gerakan “ukel” dengan tension (gerakan betegangan) ataupun permainan “on” dan “off” di dalam tubuh dari basic tubuh tradisional.
Sesungguhnya, masih kata Rianto, masih ada bagaian terakhir dan sebenarnya menjadi yang paling penting dari keutuhan dari karya “SoftMachine”. Namun, itu tidak ia tampilkan dalam pertunjukan kali ini.
Pasalnya, kultur di Indonesia masih memandangnya sebagai sesuatu yang sangat tabu dan tidak pantas meski dengan label karya seni. Sebab pada bagian ini ia harus benar-benar telanjang di atas panggung.
Sementara di negara lain, khususnya Eropa, Amerika bahkan Afrika, sudah bisa melihat itu dari sudut pandang yang berbeda, yakni sesuatu yang integral dalam sebuah karya seni.
“Bagian ini mengisahkan tubuh yang benar-benar polos seperti halnya manusia yang baru lahir. Sehingga masih bersih dari atribut-atribut apa pun yang melekat pada tubuh,” tandasnya. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi