Menurutnya, pembagian kewenangan atas pompa air justru membuat koordinasi sulit.
“Ada pompa yang BBWS tangani, ada yang oleh provinsi, ada yang Kota Semarang kelola. Jadi koordinasi antara tiga lembaga ini juga menjadi satu tantangan tersendiri untuk memaksimalkan fungsi pompa-pompa ini,” ujarnya.
Ia menilai kompleksitas kewenangan tersebut menyebabkan langkah penanganan banjir kerap tumpang tindih.
“Kalau di Kaligawe itu memang persoalannya kompleks. Urusan pompa saja sudah banyak institusi. Belum lagi penanganan banjirnya, karena daerah hilirnya kewenangannya lain, hulunya juga bukan kewenangannya Kota Semarang,” terangnya.
Wiwandari menegaskan, wilayah hulu sungai yang memengaruhi aliran air ke Kaligawe berada di luar administratif Kota Semarang. Sehingga perlu sinergi lintas daerah.
“Kalau bicaranya Kota Semarang, mungkin dia fokusnya hanya penanganan di kota saja, lebih ke tengah sampai hilir. Tapi hulunya itu ada di daerah kabupaten,” ujarnya.
BACA JUGA: Minta BMKG Modifikasi Cuaca, Ahmad Luthfi: Kami Stand By 24 Jam Tangani Banjir Genuk-Kaligawe
Ia menyebut, proyek bendungan Jragung yang melintasi Kabupaten Semarang hingga Grobogan merupakan contoh bagaimana penanganan banjir tak bisa terbatasi oleh batas administratif.
“Kalau enggak salah Jragung itu ada di Kabupaten Semarang, terus masuk juga ke kabupaten sebelahnya, ada yang sampai ke Demak dan Grobogan juga. Artinya memang ini sudah lintas wilayah,” pungkasnya. (*)
Editor: Farah Nazila
