“Tujuh persen etanol (E7) itu harus dihitung betul produksinya, apakah mencukupi atau tidak. Jangan sampai nanti pasokannya kurang kan malah impor dari luar, nanti harganya malah mahal,” terangnya.
Ia menyinggung pasokan Pertalite yang kerap kali terlambat. Jaka khawatir jika hal itu akan terjadi pada Pertamax Green 92.
Jaka optimis masyarakat sambut baik jika harga Pertamax Green 92 kisaran Rp10 ribu
Lebih lanjut, subsidi atau yang Jaka sebut kompensasi dari Pemerintah juga menjadi pertimbangan penting dalam peralihan bahan bakar tersebut. Lantaran kompensasi terhadap bahkan bakar sangat berpengaruh pada harga Pertamax Green 92.
“Masyarakat dalam membeli itu tidak melihat ronnya, namun masyarakat lebih melihat harganya. Mau itu ron berapa tetapi harganya Rp10 ribu, itu yang akan mereka beli,” sambungnya.
Sehingga, penting menurut Jaka untuk Pemerintah memberikan kompensasi yang lebih besar. Pasalnya, kenaikan harga BBM sangat berpengaruh pada taraf hidup masyarakat.
BACA JUGA: Pertamina: Puncak Konsumsi BBM Gasoline Naik Hingga 52 Persen di Jateng-DIY
“Kalau harganya tetap pasti warga mendukung, tetapi kalau harganya naik pasti masyarakat keberatan. Kalau harganya tidak naik, kompensasi harus pemerintah naikkan,” bebernya.
Tentunya, kata Jaka, kenaikan pemberian kompensasi berdampak pada anggaran pemerintah. Persoalan dilematis ini harus mencari titik tengah dalam penyelesaiannya.
“Jika memberatkan APBN negara, itu dicari titik tengahnya. Misalnya harus naik ya jangan terlalu tinggi, karena kenaikan BBM juga menaikkan harga barang lainnya,” pungkasnya. (*)
Editor: Mu’ammar Rahma Qadafi