Oleh karena itu, tak heran jika desain-desain arsitektur buatan mahasiswa ISAI UIN Walisongo erat dengan filsafat islam.
“Di ISAI kita diajari seni juga, ada filsafat arsitektur dan ada filsafat islam, jadi ilmu-ilmu filsafat dan filosif itu kita masukkan ke dalam sebuah bangunan,” kata Jamil.
“Kalau di ISAI kita diajari bagaimana cara arsitek bisa membicarakan sebuah bangunan, dalam artian bangunan itu bisa berbicara,” imbuhnya.
Karena erat dengan filosofi islam, Jamil mengaku sering kali mahasiswa ISAI UIN Walisongo beroleh cap hanya mampu mendesain bangunan-bangunan keagamaan seperti masjid dan pondok pesantren. Padahal, ia dan teman-temannya juga bisa mendesain berbagai bangunan non keagamaan.
“Pasti dikiranya bikin masjid dan pondok, padahal nggak melulu seperti itu. Kita juga bisa bikin bangunan-bangunan bertingkat, rumah, gedung, public space, dengan tetap berangkat dari keislamannya,” lanjutnya.
Ia pun berharap mampu terus menelurkan karya-karya arsitektur di kemudian hari. Dengan tak lupa membawa unsur keislaman.
“Karya arsitektur lain jarang yang membawakan hadis, kalau kita berangkat dari sebuah hadis, jadi itu memang poinnya,” pungkasnya. (*)
Editor: Mu’ammar Rahma Qadafi