Edvra menambahkan, kasus ‘Skandal SMANSE’ ini menjadi cermin dari kondisi literasi digital masyarakat Indonesia yang masih rendah, utamanya dalam aspek kesadaran moral dan tanggung jawab bermedia.
Sifat dunia digital yang anonom membuat pelaku merasa aman
Edvra menjelaskan, perilaku pengguna internet yang kerap melakukan perundungan, ujaran kebencian, hingga penyebaran konten seksual tanpa izin tidak bisa terlepas dari karakter dasar teknologi digital.
“Teknologi internet itu punya tiga kekuatan, interaktivitas, asinkronus, dan anonimitas,” katanya.
Dari ketiga unsur itu, kata Edvra, anonimitas atau kemampuan menyembunyikan identitas menurutnya menjadi faktor paling berbahaya. Pelaku merasa aman lantaran bisa memakai nama samaran dan tidak bertemu langsung dengan korban.
“Barangkali orang merasa lebih aman ketika melakukan hal-hal semacam itu di internet. Tidak bertemu langsung, identitas bisa di palsukan,” ujar Edvra.
Namun, ia mengingatkan bahwa penegak hukum saat ini juga semakin canggih dan mampu menelusuri identitas asli pelaku digital.
“Kalau ketemu langsung bisa ditampar, bisa dipersoalkan. Tapi di internet orang merasa bebas. Padahal, aparat kita juga sudah lebih pintar untuk menemukan siapa pelakunya,” ucapnya.
BACA JUGA: Bikin Rekayasa Konten Cabul “Skandal SMANSE” Pakai AI, Alumni SMAN 11 Semarang Chiko Radityatama Minta Maaf
Lebih lanjut, Edvra menilai kasus ini seharusnya menjadi momentum pemerintah memperkuat regulasi kekerasan seksual digital, utamanya yang melibatkan manipulasi berbasis AI.
“Harusnya ini jadi dorongan untuk memperbarui aturan hukum, agar kasus seperti ini tidak perlu menunggu korban melapor,” terangnya.
Ia juga menekankan pentingnya pembinaan literasi dan etika digital sejak dini, agar generasi muda tidak hanya melek teknologi, namun juga paham batas moral dan hukum dalam dunia maya.
“Generasi kita cepat mengikuti teknologi, tapi tidak berdasarkan etika. Ini yang harus jadi pembenahan bersama,” pungkas Edvra. (*)
Editor: Farah Nazila













