Jateng

Pakar Undip Ungkap Akar Masalah Banjir Kaligawe: Bukan Pompa, Tapi Alih Fungsi Lahan di Semarang Atas

×

Pakar Undip Ungkap Akar Masalah Banjir Kaligawe: Bukan Pompa, Tapi Alih Fungsi Lahan di Semarang Atas

Sebarkan artikel ini
Banjir Kaligawe Genuk
Kondisi genangan air yang sudah mulai surut di Jalan Raya Kaligawe, Kecamatan Genuk, Kota Semarang, Minggu, 26 Oktober 2025. (Foto: Dok. Polsek Genuk)

“Pertumbuhan di Semarang atas dan beberapa daerah di Kabupaten Semarang itu bukan hanya permukiman, tetapi juga industri di daerah hulu. Itu sangat memengaruhi daya tampung dan daya dukung kota,” pungkas dia.

Ia menambahkan, kondisi cuaca ekstrem dan curah hujan tinggi yang makin sering terjadi memperburuk situasi banjir di kawasan Pantura Semarang.

“Kita juga mengalami yang disebut dengan bencana iklim ekstrem. Curah hujannya makin tinggi, walaupun durasinya tidak lama. Jadi memang perlu diantisipasi dengan penataan kota dan kesiapan drainase secara menyeluruh,” ujarnya.

Tiga faktor penyebab banjir Kaligawe: rob, luapan sungai, dan drainase yang gagal

Secara spesifik, Wiwandari menjelaskan banjir Kaligawe terjadi karena tiga penyebab utama. Pertama, banjir rob akibat air pasang laut; kedua, banjir karena luapan sungai dari wilayah hulu; dan ketiga, banjir akibat gagalnya sistem drainase di kawasan dataran rendah tersebut.

“Kaligawe itu problem karena hujannya dan banjirnya, penyebabnya setidaknya oleh tiga hal: banjir karena rob, banjir karena luapan sungai dari hulu, dan banjir karena kegagalan drainase,” terang Wiwandari.

Ia meyakini, bendungan Jragung yang saat ini sedang proses pembangunan, mirip dengan fungsi Waduk Jatibarang di sisi barat Semarang, dapat mengurangi limpasan air di sisi timur kota.

“Saat ini pemerintah sedang bangun DAM Jragung ya, seperti halnya Jatibarang di barat, kalau Jragung di timur sudah berfungsi, itu bisa mengurangi beban Kaligawe,” katanya.

Pompanisasi dan normalisasi sungai tak bisa selesaikan banjir, Windari kritik pemerintah yang abai soal maintenance

Lebih jauh, Wiwandari menilai penanganan banjir tidak bisa hanya secara parsial seperti pompanisasi atau normalisasi sungai tanpa memperhatikan kawasan hulu.

“Kalau cuma parsial seperti yang dilakukan pompanisasi saja, normalisasi saja tapi tidak dari hulu, ya akan terus terjadi setiap tahun. Jadi penanganan itu enggak bisa parsial-parsial, tapi harus sistemik dan terstruktur dari hulu sampai hilir,” tegasnya.

Menurut Wiwandari, salah satu kelemahan kebijakan pemerintah daerah selama ini adalah kurangnya perhatian terhadap pemeliharaan infrastruktur yang sudah ada.

“Selama ini pemerintah lebih fokus pada pembangunan baru ketimbang maintenance. Harusnya kita belajar dari pengalaman yang lalu. Anggaran dan program harus seimbang antara pengelolaan yang sudah ada dan pembangunan baru,” ucapnya.

BACA JUGA: Sambangi Korban Banjir, Ahmad Luthfi Pastikan Bantuan Tepat Sasaran

Ia menilai lemahnya perawatan tanggul, pompa, dan saluran membuat fungsi pengendalian banjir tidak optimal. Selain itu, sedimentasi sungai di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) timur juga belum tertangani.

“Buktinya kemarin, ternyata karena ada pompa yang enggak berfungsi, artinya maintenance selama ini kurang mendapat perhatian. Percuma kita normalisasi sungai kalau tak ada pengelolaan sedimentasinya. Kapasitas sungai enggak banyak, padahal sudah keluar uang banyak buat normalisasi,” pungkas dia. (*)

Editor: Farah Nazila

Simak berbagai berita dan artikel pilihan lainnya lewat WhatsApp Channel beritajateng.tv dengan klik tombol berikut:
Gabung ke Saluran

Tinggalkan Balasan