BACA JUGA: Hari Anak Nasional, Anak Rentan Tampilkan Karya Menyentuh di Pameran Rumpin Bangjo Semarang
Ia menilai, karya-karya yang ditampilkan bukan hanya menghadirkan tawa, tetapi juga membawa jejak sejarah panjang kartun di Indonesia, khususnya di Semarang.
“Kalau menengok sejarah, kartun di era Orde Baru sempat mendapat tekanan. Namun, para kartunis tetap bisa bertahan dengan cara unik, yaitu mendekatkan diri kepada penguasa, sehingga karya mereka justru mendapat ruang. Itu sebabnya saya menyebut kartunis sebagai salah satu pahlawan seni,” jelas Athian dalam sambutannya.
Ia juga menambahkan, kartun punya kekuatan untuk menghadirkan kritik sosial secara lebih ringan dan mudah dipahami masyarakat.
“Kartunis mampu membahasakan isu serius menjadi sesuatu yang akrab dalam keseharian. Itu yang membuat kartun relevan dan penting untuk terus hidup,” ujarnya.
Menghidupkan tradisi kartun di Indonesia
Pameran ini sekaligus menjadi ajang menghidupkan kembali tradisi kartun yang dulu lekat dengan media massa Indonesia.
Pada era 1980-an hingga 1990-an, kartun banyak terdapat di surat kabar maupun baliho jalanan. Namun, seiring berkurangnya ruang di media cetak, eksistensi kartun ikut meredup.
Sebagai informasi, karya-karya di pameran tersebut tercipta dari 17 kartunis kenamaan, di antaranya Abdullah Ibnu Thalhah (Semarang), Agoes Jumianto (Yogyakarta), Beng Rahadian (Jakarta), Diyan Bijac (Kabpaten Bogor), Djoko susilo (Kendal), Jango Pramartha (Bali), Jajak Solo (Solo), Jitet Kustana (Semarang), Koesnan Hoesie (Semarang), M. Syaifuddin Ifoed (Tangerang Selatan), Mice Misrad (Tangerang Selatan), Sukartoen (Semarang), Tiyok Black (Semarang), Thomdean (Tangerang Selatan), Wahyu Kokkang (Kendal), Wawan Ecian (Bogor), dan Yeksa Sarkeh Chandra (Bekasi).
Melalui pameran yang berlangsung pada 17-28 Agustus 2025 di Tan Artspace, Pakarti berharap kartun tetap mendapat tempat di masyarakat. Kartun dinilai memiliki kekuatan unik, mampu menyampaikan kritik sosial tanpa menyakiti, serta menghadirkan humor yang dekat dengan keseharian. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi