“Kami juga menduga hasil galian basement diangkut dan dijual tanpa izin,” tambahnya.
Tendy menjelaskan, Dinas Tata Ruang sebenarnya telah mengeluarkan surat peringatan pertama (SP1) dan surat peringatan kedua (SP2) berupa penghentian pembangunan. Namun hingga kini, tidak ada tindak lanjut berupa SP3 atau pembongkaran bangunan.
“SP3 seharusnya sudah diterbitkan karena jelas melanggar garis sempadan bangunan dan membangun tidak sesuai dengan IMB/PBG. Dampaknya nyata terhadap rumah klien kami,” tegasnya.
Selain itu, Tendy juga menduga pemilik bangunan menggunakan dua versi gambar desain. “Satu gambar di ajukan untuk mengurus izin. Sementara gambar lain digunakan untuk pembangunan fisik di lapangan,” ungkapnya.
Ia berharap Walikota Semarang segera menindaklanjuti aduan ini dengan melakukan pengecekan terhadap penerbitan IMB/PBG bangunan tersebut.
“Kami meminta Walikota menegakkan aturan dengan tegas dan segera mengeluarkan SP3 agar tidak ada lagi pelanggaran serupa di Kota Semarang,” tandasnya.
Sementara itu, Walikota Semarang, Agustina Wilujeng menyatakan, bahwa pihaknya membuka mediasi antara kedua belah pihak yang bersengketa.
“Kami minta dari bagian hukum nanti memfasilitasi dengan cara mediasi sehingga menemukan jalan tengah penyelesaian untuk keduanya. Jadi baik dari pemilik bangunan rumah makan ini maunya seperti apa dan pemilik rumah yang terdampak dari pembangunan tuntutannya apa,” pungkasnya. (*)
Editor: Elly Amaliyah