Dalam komentarnya, ia juga menyoroti posisi para saksi yang umumnya merupakan bagian dari birokrasi. Ia menjelaskan bahwa dalam struktur pemerintahan, perintah pimpinan seperti wali kota memiliki kekuatan yang sangat dominan.
Para staf di bawahnya kerap kali mengikuti arahan, bahkan jika mereka menyadari bahwa perintah tersebut berpotensi melanggar hukum.
“Tak jarang, ada tekanan atau ancaman mutasi bagi bawahan yang menolak perintah. Ini membuat mereka terjebak dalam situasi tanpa pilihan,” terangnya.
Ia meyakini bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan tetap fokus pada pihak-pihak yang sudah di tetapkan sebagai tersangka.
Selain Mbak Ita, dua nama lain yang ikut terseret dalam perkara ini adalah Martono dan Rahmat Utama Djangkar.
Menutup pernyataannya, Sujiarno menyampaikan harapannya agar tim penasihat hukum terdakwa dapat lebih berkonsentrasi pada substansi pembelaan hukum.
Mengingat kasus ini telah menyita perhatian luas, baik di tingkat lokal maupun nasional. Ia menilai penting untuk menjaga sikap profesional dan tidak menciptakan polemik yang kontraproduktif.
“Ini adalah kasus besar yang mencoreng nama Kota Semarang. Akan lebih bijak jika seluruh upaya di arahkan untuk memberikan pembelaan terbaik bagi klien. Tanpa menyudutkan pihak lain secara terbuka,” pungkasnya. (*)
Editor: Elly Amaliyah