SEMARANG, beritajateng.tv – Pengamat ekonomi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Nugroho Sumarjiyanto Benedictus, merasa prihatin atas kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025 mendatang.
Nugroho menyebut, kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen memang telah sesuai aturan. Yakni, amanat Undang-Undang (UU), dan sudah ada penjadwalannya. Akan tetapi, ia menilai pemerintah bisa menunda atau bahkan membatalkan kebijakan tersebut.
“Pemerintah bisa menunda atau bahkan membatalkan dengan merevisi UU atau menggantinya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu),” katanya saat beritajateng.tv hubungi, Selasa, 19 November 2024.
BACA JUGA: Bapenda: E-Tax Penting Untuk Optimalkan Penerimaan dan Transparansi PPN
Nugroho menyampaikan, PPN merupakan pajak tidak langsung yang bisa digeser bebannya. Yang mana, saat ini PPN terbebankan ke konsumen atau pembeli.
Padahal semestinya, kata Nugroho, PPN dapat terbebankan kepada produsen atau penjual. Sehingga, pada akhirnya, PPN tidak memengaruhi daya beli konsumen.
“Mestinya merupakan beban produsen atau penjual, tetapi digeser kepada konsumen sehingga beban akhirnya memang pada konsumen. Sementara dalam situasi ekonomi yang belum pulih akan memberatkan bagi daya beli konsumen,” ucapnya.
Kenaikan PPN jadi 12 persen tingkatkan penggunaan barang ilegal
Lebih jauh, Nugroho mengamati bahwa berita kenaikan tarif PPN mendapat respons yang negatif. Ia khawatir, alih-alih menambah penerimaan pajak pemerintah, kenaikan tarif PPN malah justru menurunkan penerimaan pajak pemerintah.