“Sekarang saya meyakini bahwa Pemilu 2024 dalam kaitan dengan konten media sosial akan berlipat ganda, dua sampai tiga kali terhadap kemungkinan misinformasi, disinformasi, dan malinformasi. Dan itu besar sekali pengaruhnya,” imbuhnya.
Dalam proyeksinya, kondisi sosial politik pada Pemilu 2024 merupakan gabungan antara Pilkada DKI Jakarta 2017, Pilpres 2019, hingga Pilkada 2020. Sebagaimana kontestasi tersebut sarat akan polarisasi dalam media sosial.
BACA JUGA: Bawaslu Kota Semarang Awasi Hoax dan Ujaran Kebencian di Medsos Saat Pemilu
“Karena meningkatnya penggunaan media sosial dan itu kan instrumen paling favorit berdasarkan yang lain. Kalau gitu makin besar peluangnya. Maka kemungkinan dinamika sosial politik kita intens dan sangat memungkinkan adanya perang media,” ungkap mantan anggota DKPP tersebut.
“Antara petahana versus petahana itu saja akan menimbulkan dinamika yang meletup-meletup. Apalagi dengan menggunakan pendekatan yang lain-lain, represi atau yang lain,” imbuhnya.
Menurutnya, hal tersebut lantaran kepemilikan ponsel cerdas atau smartphone dengan intensitas penggunaan media sosial pada kalangan masyarakat Indonesia makin meningkat.
“Dengan kita menghitung kepemilikan setiap orang terhadap smartphone, atau akses atau penetrasi masyarakat kepada media sosial, peluang itu makin besar. Sekarang terkadang kita pegang smartphone nggak hanya satu, perlu dua,” pungkasnya. (*)
Editor: Ricky Fitriyanto