“Padahal anda tahu tujuan dari desentralisasi politik adalah untuk mendekatkan jarak. Titik yang paling krusial adalah partai politik tidak lagi memainkan peran yang sangat menentukan, bahkan rakyat di daerah itu makin terjauhkan dari proses-proses tersebut,” ujarnya.
Selama proses Pilkada Jawa Tengah, baik Pilbup/Pilwakot maupun Pilgub, NHS meyakini warganya akan memilih calon pilihan elit.
“Belum tentu juga sejalan dengan kepentingan elit lokal maupun masyarakat. Tetapi sudah pasti tidak selalu berbanding lurus dengan kepentingan masyarakat lokal,” tegasnya.
Pertanyakan ke mana PDIP, NHS sebut partai banteng tak bermental pemenang
Mengenai apakah PDI Perjuangan (PDIP), partai pemenang Pileg di Jawa Tengah, mampu mengalahkan jagoan Jokowi, NHS angkat bicara.
Dengan mantap, jawaban NHS ialah PDIP sudah kalah secara set pertandingan. Menurutnya, PDIP bak aktor utama sekaligus memegang tradisi demokrasi lokal di Jawa Tengah.
Namun, hal itu tak berlaku pada Pilkada 2024 ini. NHS merasa PDIP sedang berada di tempat lain yang tak berurusan dengan Pilkada 2024.
“Bahkan wacana Pilkada di Jateng tidak dia pegang. Pemberitaan di media massa maupun media sosial didominasi oleh wacana seperti Kaesang apakah mau di Jakarta atau di Jawa Tengah, apakah partai ini akan memilih Luthfi atau tidak,” tegasnya.
Ibaratnya, kata NHS, dalam teritorinya, PDIP justru berada di pinggiran. NHS pun merasa, sebagai pemenang Pileg, PDIP tak memiliki mental juara atau pemenang.
“Ini aneh, apakah itu salah PDIP? Secara internal boleh jadi, tetapi secara eksternal ada kekuatan lain yang bekerja, yang saya sebut tadi kekuatan drop-drop-an dengan metode top down, memakai seluruh permainan dalam Pilkada di Jawa Tengah ini,” tandasnya. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi