Supriyadi geram lantaran penanaman tebu baginya tak sesuai keperuntukan tanah tersebut. Sebab, kata dia, status tanah itu seharusnya bukan milik swasta.
Ia bersama dengan petani lain mengungkap bahwa lahan seluas 7,3 hektare itu merupakan Tanah Norowito.
Tanah Norowito sendiri merupakan tanah pertanian milik bersama. Yang mana, melalui tanah itu, warga dapat memperoleh bagian untuk mereka garap, baik secara bergilir atau tetap dengan syarat tertentu.
“Sekarang statusnya tanah apa? Norowito. Saya bilang ke ATR/BPN, ‘Apakah bapak tahu apa itu Tanah Norowito?’ Saya tahu, karena saya mantan lurah,” ucap Supriyadi.
BACA JUGA: Optimalkan Sektor Pertanahan, Menteri ATR/BPN Lengkapi Layanan Sertifikat Elektronik di Jawa Tengah
Tak bisa garap lahan di tanah itu, sebut PT LPI kerahkan preman
Atas status kepemilikan tanah itu oleh PT LPI, petani Desa Pundenrejo mengaku tak bisa menggarap tanah tersebut. Supriyadi menyebut, PT LPI menduduki tanah itu sejak tahun 2001.
Bahkan, pada tahun 2001 silam, Supriyadi bertanya pada pemerintah terkait status kepemilikan tanah itu. Namun, pihaknya tak mendapat jawaban apa-apa.
Sejak tahun 2020, Supriyadi mengaku para petani tak bisa menggarap lagi di tanah tersebut. Bahkan, menurut keterangannya, PT LPI menggunakan kekuatan atau preman untuk menghalangi petani agar tak menggarap tanah di lahan tersebut.
“Tidak ada yang bisa kerja atau garap lagi, karena waktu tahun 2020, dia (PT LPI) pakai power atau preman. Kami tidak menghendaki itu, kami tempuh jalur aturan saja,” tandasnya. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi