SEMARANG, beritajateng.tv – Ekspansi perkebunan kelapa sawit yang sangat pesat di Indonesia telah menimbulkan konflik yang meluas antara masyarakat pedesaan dan perusahaan sawit.
Tak sedikit warga di berbagai daerah Indonesia telah kehilangan lahan yang luas karena ekspansi perusahaan sawit. Nahasnya, mereka tidak mendapat kompensasi yang memadai.
Industri kelapa sawit ini seolah-olah bagai sebuah rezim. Begitulah Ketua Program Studi Magister Ilmu Politik Laila Kholid menggambarkan perusahaan sawit di Indonesia.
Dalam Seminar dan Bedah Buku bertajuk ‘Kehampaan Hak, Masyarakat vs Perusahaan Sawit di Indonesia’ yang berlangsung di Ruang Sidang Senat FISIP Undip, Selasa, 25 Juli 2023, sosoknya menilai perusahaan sawit bukan lagi sekadar meraup keuntungan semata. Namun keberadaan perusahaan sawit telah menjadi hegemoni institusi politik.
BACA JUGA: Berawal Uang Rp 1.000 Kelapa Sawit, Aryo Buka Toko Jual Beli Uang Kuno Satu-satunya di Semarang
Buku karya peneliti senior KITLV Leiden, Belanda Prof. Ward Berenschot ini bertujuan untuk memotivasi serta memfasilitasi keterlibatan yang lebih efektif dalam menyelesaikan konflik-konflik kelapa sawit di Indonesia.
“Secara de facto, riset menemukan bahwa warga masyarakat amat sulit mendapatkan hak-haknya. Perlindungan terhadap kepentingan warga desa menjadi tidak efektif. Perusahaan juga harus memperoleh berbagai perizinan dan mematuhi segala aturan yang ada. Pada banyak kasus, juga komunitas warga berhak atas skema bagi hasil yakni skema inti plasma atau kemitraan. Akhirnya, warga juga punya hak untuk mengorganisasi diri dan memprotes.” tutur Ward.
Dari berbagai macam hak yang warga miliki, Ward menyebut realisasi hak-hak tersebut menjadi permasalahan utama. Itulah yang kemudian ia sebut sebagai ‘kehampaan hak’.
“Secara resmi memang ada hak, tetapi isinya kosong. Dalam protes-protes warga, sering terjadi kriminalisasi dan represi atau kekerasan,” beber akademisi yang juga menjadi Profesor Visit Undip tersebut.
Permasalahan lahan perusahaan sawit di Indonesia
Terjadinya kehampaan itu disebabkan oleh terbatasnya hak tanah akibat pengakuan hak individual atas warisan kolonial yang muncul di domein verklaring atau deklarasi domain tahun 1870 silam.