Nasional

Ramai Pelarangan Thrift Ilegal, Pengusaha Thrift: Kami Seperti Kambing Hitam Masalah Negara

×

Ramai Pelarangan Thrift Ilegal, Pengusaha Thrift: Kami Seperti Kambing Hitam Masalah Negara

Sebarkan artikel ini
baju thrifting
Suasana masyarakat yang berburu baju thrifthing di Semarang. (Dok. Pribadi)

SEMARANG, beritajateng.tv – Isu pelarangan thrifting atau penjualan pakaian bekas impor kembali ramai dibicarakan setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan akan memperketat aturan tersebut.

Namun kebijakan ini menuai kritik dari para pelaku usaha, salah satunya datang dari Yohanes (31), pemilik toko Awawscnd di Kelurahan Kembangarum, Semarang Barat.

Menurut Yohanes, kebijakan pelarangan thrift dinilai tidak relevan jika alasan utamanya adalah melindungi UMKM produk lokal. Ia berpendapat bahwa setiap jenis usaha memiliki pasar dan segmennya sendiri.

“Kurang relevan kalau penghentian thrift dengan dalih melindungi UMKM lokal. Semua usaha punya market sendiri. Dari tahun ke tahun selalu ada berita seperti ini. Kami pelaku thrift seperti dikambinghitamkan atas masalah negara yang tidak bisa membuka lapangan pekerjaan,” ujarnya kepada beritajateng.tv melalui pesan singkat pada Sabtu, 8 November 2025.

Yohanes yang menekuni usaha thrifting sejak 2014 ini mengaku kebijakan sepihak pemerintah berpotensi menghancurkan mata pencaharian banyak orang. Ia berharap pemerintah tidak hanya melarang, tetapi juga memberikan solusi konkret agar pelaku usaha tetap bisa bertahan.

“Kalau dipaksa berhenti tanpa solusi, ya jelas merugikan. Saya pribadi mungkin akan kembali ngojek. Daripada jual produk bekas lokal yang kurang pembeli minati,” katanya.

BACA JUGA: Soal Menkeu Purbaya Larang Impor Thrifting, Apindo Semarang: Langkah Lindungi Pengusaha Lokal

Menurutnya, banyak pelaku thrift di Indonesia bukan sekadar mencari keuntungan besar, melainkan berawal dari hobi dan kebutuhan ekonomi. Yohanes sendiri mengaku mulai berjualan karena sering berburu pakaian bekas di pasar tradisional seperti Pasar Pon dan Pasar Legen di Klaten, bahkan hingga ke Pasar Surabaya.

Lebih jauh, Yohanes menilai pemerintah seharusnya tidak menutup mata terhadap sejarah panjang thrifting di Indonesia.

“Thrift itu sudah ada sejak tahun 90-an. Kalau sekarang dianggap ilegal, kenapa tidak dilegalkan tapi dibatasi saja? Misalnya dengan kuota impor per provinsi supaya bisa dipantau,” ujarnya.

Ia juga menyoroti bahwa pemerintah bisa menerapkan sistem pengawasan dan pembatasan impor daripada menutup total. Dengan begitu, keberadaan usaha kecil seperti thrift bisa tetap hidup, sementara regulasi tetap berjalan.

Solusi Win-Win untuk Pemerintah dan Pelaku Usaha

Berkat usaha thrifting miliknya, Yohanes kini mampu menghasilkan omzet sekitar Rp4–5 juta per bulan, baik melalui penjualan daring maupun di lapak fisik. Dari usahanya itu, Yohanes bisa ikut event di luar kota dan sedikit demi sedikit memperbaiki kondisi ekonominya.

Simak berbagai berita dan artikel pilihan lainnya lewat WhatsApp Channel beritajateng.tv dengan klik tombol berikut:
Gabung ke Saluran

Tinggalkan Balasan