“Lumayan lah, dari usaha ini saya bisa ikut event luar kota dan bantu teman-teman juga,” katanya.
Bagi Yohanes, thrift bukan sekadar bisnis, tapi ruang kreatif dan peluang hidup. Ia berharap pemerintah tidak serta-merta menutup pintu rezeki para pelaku thrift, melainkan mencari titik tengah yang adil.
Sebagai pelaku usaha, Yohanes menyarankan agar pemerintah menerapkan kebijakan win-win solution, seperti pembatasan impor secara berkala, bukan pelarangan total.
“Seharusnya ada pembatasan, bukan pelarangan. Misalnya impor dibatasi per bulan atau per tahun per provinsi. Jadi pemerintah bisa tetap memantau tanpa mematikan usaha kami,” tutup Yohanes.
BACA JUGA: Pemerintah Larang Impor Pakaian Bekas, Pecinta dan Pebisnis Thrifting Angkat Bicara
Isu tersebut juga mendapat perhatian dari Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kota Semarang, Dedy Mulyadi. Ia mengatakan maraknya impor pakaian bekas selama ini menjadi ancaman serius bagi pelaku usaha di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT). Selain merugikan negara karena tidak di kenai pajak, tren thrifting juga merusak pasar dan menekan daya saing pelaku usaha lokal.
“Kalau ada pelarangan barang-barang bekas, menurut saya bagus. Banyak pedagang besar yang mengambil keuntungan dari impor ilegal tanpa bayar pajak. Padahal seharusnya kalau produk tekstil masuk jalur merah, pajaknya besar,” jelasnya.
Dedy menilai, selain aspek ekonomi, impor pakaian bekas juga membawa risiko kesehatan dan lingkungan karena banyak produk yang tidak melalui proses sterilisasi. (*)
Editor: Farah Nazila








