Dalam ilmu hukum, kata Ali, terdapat syarat agar suatu tindakan merupakan tindak pidana. Syarat yang harus ada antara lain: perbuatan bersifat melawan hukum; suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang/perundang-undangan dan terhadap yang melanggarnya diancam pidana; dalam suatu waktu, tempat, dan keadaan tertentu.
“Jadi untuk bisa menjadi suatu bentuk pidana, itu nantinya bukan tindak pidana penguntitan, tetapi tindak pidana yang bisa masuk ke mana nih, yang syaratnya ada tiga itu,” ujarnya.
Bagaimana Jika Pelaku Alami Gangguan Jiwa?
Namun, masalah lain muncul ketika pelaku mengalami gangguan jiwa. Dalam Pasal 44 (1) KUHP terdapat alasan penghapus pidana bernama alasan pemaaf. Berdasarkan pasal tersebut, ketika seseorang dalam gangguan jiwa tidak dapat terkena pidana.
“Tapi kemudian yang perlu kita sadari, yang menentukan seseorang terdapat gangguan jiwa bukan penegak hukum, tapi orang yang memiliki ahli pada bidang itu yaitu psikolog dan psikiater. Psikolog dan psikiaterlah yang kemudian memberikan keterangan,” katanya.
Untungnya, berdasarkan Pasal 44 ayat (2) KUHP, hakim dapat meminta pelaku untuk dibawa ke rumah sakit jiwa ketika membahayakan korban atau orang lain pada kemudian hari.
Terakhir, Ali yakin hukum tetap melindungi dan berpihak pada korban, meskipun secara aturan Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan sudah tidak memiliki kekuatan hukum lagi. Namun masih ada pasal-pasar lain yang bisa menjerat pelaku penguntitan. (*)
Editor: Ricky Fitriyanto