Ia menyebut banyak kecelakaan truk justru tersebab faktor kelalaian sopir, bukan semata kondisi armada.
“Kami selalu lakukan cek dan inspeksi sebelum jalan. Tapi di lapangan ada sopir ngantuk atau halusinasi karena narkoba,” tegasnya.
Bambang juga menyoroti rendahnya minat menjadi sopir truk di Indonesia. Selain citra pekerjaan dengan anggapan “kelas bawah”, gajinya pun tidak sebanding dengan risiko.
“Di Eropa, gaji sopir setara profesor karena pemerintah memberi perhatian. Tapi di sini profesi sopir dianggap pilihan terakhir, dianggap kotor,” ujarnya.
Aptrindo berharap pemerintah dapat lebih memperhatikan nasib sopir dan pengusaha, terutama terkait biaya pelatihan dan sertifikasi kompetensi yang dinilai memberatkan.
“Pelatihan itu ada, tapi biayanya berat. Sopir ikut diklat sehari penuh dan semua biayanya ditanggung pengusaha. Kalau semua dibebankan ke kami, ya pengusaha lebih memilih sopir langsung narik saja,” pungkas Bambang. (*)
Editor: Mu’ammar R. Qadafi













